Selasa 13 Oct 2020 17:08 WIB

Seorang Kim Jong Un Menangis dan Meminta Maaf ke Rakyatnya

Tangis dan permintaan maaf Kim Jong Un kepada rakyatnya dikritisi oleh analis politik

Pemimpin tertinggi Korea Utara, Kim Jong Un memberikan hormat kepada parade militer dalam perayaan 75 tahun Partai Buruh, di Pyongyang, Sabtu (10/10).
Foto: KCNA
Pemimpin tertinggi Korea Utara, Kim Jong Un memberikan hormat kepada parade militer dalam perayaan 75 tahun Partai Buruh, di Pyongyang, Sabtu (10/10).

REPUBLIKA.CO.ID, Pemimpin tertinggi Korea Utara (Korut), Kim Jong Un menangis, meminta maaf, dan berterima kasih kepada rakyatnya atas pengorbanan di tengah krisis. Berpidato di parade militer pada Sabtu (10/12) saat perayaan 75 tahun Partai Buruh, Kim mendadak emosional saat dia berterima kasih kepada prajurit dalam merespons bencana nasional dan mencegah meledaknya penularan Covid-19. Kim juga meminta maaf kepada rakyat karena gagal untuk menaikkan standar kehidupan rakyatnya.

Sejak meneruskan kepemimpinan ayahnya pada 2011, Kim telah menetapkan perbaikan ekonomi rakyat sebagai agenda proiritasnya. Untuk mewujudkannya, Kim bahkan melakukan pertemukan dengan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump dan menjalin hubungan kerja sama dengan AS, yang sebelumnya belum pernah terjadi dalam sejarah politik Korut.

Baca Juga

Namun, rencana-rencana ambisius lewat perdagangan internasional, proyek konstruksi, dan kebijakan ekonomi lainnya kemudian terhenti akibat dari sanksi yang diterapkan terhadap Korut sebagai ganjaran atas program nuklir dan rudah balistik. Ekonomi Korut yang banyak bergantun pada perdagangan dengan China bahkan semakin terhantam saat Korut harus menutup perbatasan menyusul merebaknya pandemi Covid-19 yang dilanjut bencana angin topan pada musim panas yang menghambat suplai makanan warganya.

"Rakyat memiliki kepercayaan setinggi langit sedalam lautan kepada saya, namun saya telah gagal untuk mewujudkannya," kata Kim. "Saya meminta maaf untuk itu," kata Kim, melanjutkan.

Kim menyatakan, sukses Korut mencegah penyebaran Covid-19 dan mengatasi tantangan-tantangan lainnya adalah, "Kemenangan hebat" dari warga negaranya.

“Rakyat kita selalu berterima kasih kepada partainya (Partai Buruh), namun tiada lain merekalah yang seharusnya mendapatkan ucapan terima kasih," kata Kim.

Saat parade militer di Pyongyang pada Sabtu lalu diwarnai oleh pameran deretan misil balistik dan senjata militer lainnya, analis menilai, Kim menggunakan sebagian porsi dari pidatonya untuk meraih simpati rakyat Korut. Pidatonya pun dibumbui oleh kalimat seperti "Cobaan yang tak terhitung", "Tantangan mematikan", dan "Bencana yang tak terjadi sebelumnya".

“Penting untuk melihat mengapa dia sampai menangis dalam situasi seperti itu," kata Direktur Divisi Korut Institut Unifikasi Nasional Korea, Hong Min, kepada Korea Times yang dilansir oleh Guardian, Senin (12/10).

“Di balik pesannya, dapat dirasakan bahwa Kim merasakan tekanan yang berat dalam kepemimpinannya," kata Hong, menambahkan.

Bagi analis lain, Kim Jong Un meski selama ini terkesan sebagai pemimpin yang kejam, berusaha untuk mencitrakan diri lebih tradisional dalam memimpin rakyatnya, berbeda dengan cara ayahnya, Kim Jong Il memimpin. Pidato di depan parade militer yang jelas didesain untuk diresonansi kepada khalayak dalam negeri, berupaya untuk membangun citra sebagai pemimpin yang kompeten, kharismatik dan sekaligus memiliki sisi humanis.

Berbeda dengan figur ayahnya terkenal asing, Kim biasa membawa serta istrinya dalam pertemuan-pertemuan tingkat tinggi politik bersama dengan pemimpin negara lain. Kim bahkan sering terlihat memeluk anak-anak dan berbaur dengan pekerja saat tampil di publik.

“(Gaya pidato) Kim yang sederhana dan jujur ditambah tangisan, sangat tidak biasa," kata peneliti independen dan mantan analis Korut untuk AS, Rachel Minyoung Lee.

Menurut Lee, pidato Kim yang banyak berfokus pada rakyatnya, adalah upaya untuk lari dari peristiwa aktual. Di mana, biasanya pidato Kim betema ideologi dan membanggakan Partai Buruh. "Pidatonya sangat hanya jelas ditujukan dan tentang rakyat Korut," kata Lee.

Menurut ahli ekonomi Korut dari Stimson Center, Benjamin Katzeff Silberstein, Kim sedang membentuk citra bagaimana dia merespons kondisi ekonomi negaranya. Benjamin mencontohkan, Kim sering hadir dan terlihat dalam proyek-proyek rekonstruksi pascabencana di Korut.

"Dan dia memprioritaskan banyak desain proyek konstruksi untuk ditampilkan secara simbolis sebagai wujud perkembangan ekonomi," kata Silberstein.

Namun, menurut Silberstein, meski gaya kepemimpinan Kim itu sempat direspons positif oleh pasar, Kim bukanlah seorang reformis. Dan resep kebijakan Kim sebenarnya sama saja seperti yang telah dipatrikan oleh ayahnya, bahkan kakeknya yang merupakan pendiri Korut, Kim Il Sung.

PBB menyebut, di bawah kepemimpinan Kim, Korut terus melanjutkan upaya membungkam kebebasan publik, mempertahankan kamp tahanan politik, dan secara ketat mengawasi gerak-gerik warga negaranya. Kim bahkan, berdasarkan laporan media setempat, mengeksekusi pamannya sendiri. AS juga menuduh Kim menggunakan senjata kimia VX untuk membunuh saudara tirinya, Kim Jong Nam, pada 2017, sebuah tuduhan yang dibantah Pyongyang.

Pekan lalu, Kim menyerukan negaranya untuk menerapkan 80 hari perlawanan, sebuah kampanye untuk mencapai target ekonomi sebelum Januari 2021, saat kongres menentukan rencana lima tahunan yang baru. Kampanye itu termasuk melibatkan warga negara untuk secara sukarela bekerja ekstra, yang digambarkan oleh beberapa warga sebagai, "Salah satu hari sangat yang melelahkan, menyebalkan dalam hidup," kata Silberstain. 

photo
Kim Yo-jong, perempuan paling berkuasa di Korut - (Republika)

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement