Selasa 13 Oct 2020 12:09 WIB

Amnesty Temukan Bukti Baru Serangan di Rakhine Myanmar

Dewan Keamanan PBB diminta merujuk situasi Myanmar ke Mahkamah Pidana Internasional

Red: Nur Aini
Amnesty International mengumumkan pada Senin (13/10) bahwa mereka telah mengumpulkan bukti baru serangan di Rakhine, Myanmar
Amnesty International mengumumkan pada Senin (13/10) bahwa mereka telah mengumpulkan bukti baru serangan di Rakhine, Myanmar

 

REPUBLIKA.CO.ID, RAKHINE -- Amnesty International mengumumkan pada Senin (13/10) bahwa mereka telah mengumpulkan bukti baru serangan tanpa pandang bulu terhadap warga sipil di Myanmar di tengah eskalasi konflik bersenjata yang sedang berlangsung antara militer negara dan Tentara Arakan.

Baca Juga

Bukti menunjukkan bahwa militer Myanmar membakar desa-desa dan melukai serta membunuh warga sipil di Rakhine pada awal September.

"Bukti-bukti itu didasarkan pada kesaksian langsung, foto dan video yang diperoleh dari dalam Rakhine, analisis citra satelit dan laporan media serta sumber masyarakat sipil," kata Amnesty dalam sebuah laporan.

Organisasi HAM juga prihatin atas laporan baru-baru ini tentang peningkatan kehadiran pasukan Myanmar di sepanjang perbatasan antara Myanmar dan Bangladesh. Gambar ranjau anti-personil yang baru-baru ini ditemukan di daerah sipil dianalisis oleh ahli senjata Amnesty Internasional dan diidentifikasi sebagai ranjau darat tipe MM2 yang sering digunakan oleh militer Myanmar.

Beberapa insiden yang melibatkan warga sipil yang terluka atau terbunuh oleh ranjau darat telah dilaporkan secara meyakinkan di negara bagian Rakhine dan Chin dalam beberapa bulan terakhir oleh masyarakat sipil dan media setempat.

Menurut perkiraan kelompok masyarakat sipil setempat, jumlah warga sipil yang tewas dalam konflik sejak Desember 2018 di Rakhine dan Chin mencapai 289 orang dengan 641 lainnya terluka. Angka tersebut sebenarnya tidak bisa diverifikasi secara independen karena penutupan jaringan internet seluler dan tindakan keras pemerintah yang meluas terhadap pelaporan media telah menghambat upaya dokumentasi di daerah yang terkena dampak konflik.

Pada 14 September, Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Michelle Bachelet mengatakan kepada Dewan Hak Asasi Manusia bahwa dalam beberapa kasus baru-baru ini di Rakhine, warga sipil tampaknya telah menjadi sasaran atau diserang tanpa pandang bulu. Hal itu mungkin merupakan kejahatan perang lebih lanjut atau bahkan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Analisis citra satelit yang dilakukan oleh Amnesty menemukan bahwa lebih dari 120 bangunan di desa berpenduduk etnis Rakhine di Taung Pauk dan Hpa Yar Paung di kotapraja Kyauktaw tampak terbakar habis dalam citra yang diambil pada 10 September 2020. Angka baru dari Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (UNOCHA) menunjukkan bahwa 89.564 orang mengungsi ke 180 lokasi di Rakhine antara Januari 2019 dan 7 September 2020.

Jumlah tersebut menambah parah krisis pengungsian massal yang ada di Rakhine, di mana lebih dari 130.000 Rohingya telah ditahan di kamp-kamp sejak 2012. Pemadaman internet telah menghambat pengiriman bantuan kemanusiaan kritis dan akses ke informasi penting tentang konflik dan pandemi Covid-19, sementara virus terus menyebar ke seluruh Myanmar sejak pertengahan Agustus, termasuk di Rakhine.

Pada 11 September 2020, militer Myanmar mengakui bahwa tiga tentaranya telah memperkosa seorang wanita etnis Rakhine selama operasi di kotapraja Rathedaung pada 30 Juni, meskipun mereka menyangkal langsung ketika tuduhan tersebut pertama kali diajukan pada Juli.

“Tidak ada tanda-tanda konflik antara Tentara Arakan dan militer Myanmar mereda - dan warga sipil terus menanggung beban,” kata Ming Yu Hah, Wakil Direktur Regional untuk Kampanye Amnesty International.

Hah mengatakan ketidakpedulian militer Myanmar terhadap penderitaan warga sipil semakin mengejutkan dan berani dari hari ke hari, sehingga Dewan Keamanan PBB harus segera merujuk situasi di Myanmar ke Mahkamah Pidana Internasional.

"Komunitas internasional harus meningkatkan kewaspadaan tentang situasi di negara bagian Rakhine sekarang, atau menghadapi pertanyaan nanti tentang mengapa mereka gagal bertindak lagi," kata dia.

Ro Nay San Lwin, seorang aktivis hak dan salah satu pendiri Koalisi Rohingya Bebas, mengatakan kepada Anadolu Agency bahwa pemerintah dan militer Myanmar telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang terhadap umat Buddha Rakhine sejak awal 2019. Lwin mengatakan beberapa hari yang lalu, dua warga desa Rohingya tewas di tengah pertempuran antara militer Myanmar dan Tentara Arakan karena mereka digunakan oleh militer Myanmar sebagai tameng manusia.

“Myanmar terus melakukan kejahatan terhadap etnis minoritas karena komunitas internasional gagal mengambil tindakan serius. Alih-alih berbicara tentang tindakan yang tidak mungkin, tindakan praktisnya adalah memboikot Myanmar secara diplomatik, ekonomi dan sosial," tambah dia.

Komunitas paling teraniaya

Rohingya, yang disebut PBB sebagai kaum paling teraniaya, menderita sejumlah serangan sejak kekerasan komunal meletus pada 2012. Amnesty International mengungkapkan bahwa lebih dari 750.000 pengungsi Rohingya, sebagian besar perempuan dan anak-anak, melarikan diri dari Myanmar ke Bangladesh, sejak pasukan keamanan Myanmar melancarkan serangan ke komunitas Muslim minoritas pada 2017.

Menurut Badan Pembangunan Internasional Ontario (OIDA), sekitar 24.000 Muslim Rohingya dibunuh oleh pasukan Myanmar sejak 25 Agustus 2017.

Dalam laporannya yang berjudul "Migrasi Paksa Rohingya: Pengalaman yang Tak Terkira", OIDA menyebutkan lebih dari 34.000 Rohingya dibakar hidup-hidup, sementara lebih dari 114.000 lainnya dipukuli.

Tak hanya itu, sekitar 18.000 perempuan Rohingya diperkosa oleh tentara dan polisi Myanmar, sedangkan lebih dari 115.000 rumah Rohingya dibakar dan 113.000 lainnya dirusak.

sumber : https://www.aa.com.tr/id/dunia/amnesty-internasional-temukan-bukti-baru-serangan-di-rakhine-myanmar/2004277
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement