Selasa 13 Oct 2020 11:35 WIB

Grup Tekeda Mulai Produksi Obat Covid-19 dari Plasma Darah

Grup Takeda yakin peluang keberhasilan obat dari plasma darah sangat tinggi.

Petugas medis menyusun kantong berisi plasma konvalesen dari pasien sembuh COVID-19 di Unit Tranfusi Darah (UTD) Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto Jakarta, Selasa (18/8/2020). Pengambilan plasma konvalesen pasien sembuh COVID-19  yang menggunakan alat apheresis bertujuan untuk membantu penyembuhan pasien terkonfirmasi COVID-19.
Foto: Antara/Nova Wahyudi
Petugas medis menyusun kantong berisi plasma konvalesen dari pasien sembuh COVID-19 di Unit Tranfusi Darah (UTD) Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto Jakarta, Selasa (18/8/2020). Pengambilan plasma konvalesen pasien sembuh COVID-19 yang menggunakan alat apheresis bertujuan untuk membantu penyembuhan pasien terkonfirmasi COVID-19.

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Grup Takeda Pharmaceutical, yang mengembangkan obat Covid-19 dari plasma darah, mulai melakukan produksi sambil uji klinis tahap tiga. Uji klinis dilakukan untuk menentukan keampuhan obat tersebut.

Menurut CEO Takeda Christophe Weber, grup aliansi CoVIg Plasma Alliance mendaftarkan pasien pertamanya dalam uji klinis tahap 3 pada Jumat setelah tertunda selama berbulan-bulan. Aliansi berencana mendaftarkan 500 pasien dewasa dari Amerika Serikat, Meksiko serta 16 negara lainnya dan berharap mendapatkan hasilnya akhir tahun ini.

Baca Juga

"Peluang untuk berhasil sangat tinggi," kata Weber saat wawancara.

Atas dasar itu, perusahaannya meluncurkan kampanye agar mempercepat donasi plasma konvalesen untuk membuat sekaligus memproduksi produk ini.

Aliansi, yang terdiri atas CSL Behring, Biotest AG Jerman dan perusahaan lainnya, sedang menguji terapi globulin hiperimun yang berasal dari plasma darah pasien sembuh COVID-19. Terapi globulin hiperimun menghasilkan dosis antibodi standar dan tidak perlu dibatasi pada pasien dengan kecocokan jenis darah.

Itu membuatnya lebih berkembang dan mudah ketimbang pengobatan dengan plasma konvalesen yang diambil dari pasien sembuh.

Proses produksi mahal.

Menurut Weber, pengobatan tersebut bisa saja sedikit lebih mahal dari obat antibodi monoklonal seperti yang dikembangkan Regeneron Pharmaceuticals dan Eli Lilly and Co. Dia mengeklaim aliansi tidak bermaksud mengambil keuntungan dari pengobatan tersebut.

CEO Takeda mengaku tidak mengetahui jumlah dosis obat yang mampu dihasilkan oleh grup tersebut pada akhir tahun ini. Itu tergantung donasi serta ukuran dosis yang mereka tetapkan dalam uji klinis.

Uji klinis tersebut akan menguji terapi globulin hiperimun yang digabungkan dengan obat antivirus remdesivir milik Gilead Sciences dibandingkan dengan pasien yang mengonsumsi remdesivir saja.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement