Saturday, 11 Syawwal 1445 / 20 April 2024

Saturday, 11 Syawwal 1445 / 20 April 2024

Riset: 124 Cakada Pilkada 2020 Terpapar Dinasti Politik

Senin 12 Oct 2020 15:55 WIB

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Agus Yulianto

Sejumlah massa meminta kepada partai politik untuk menolak politik dinasti dalam proses pencalonan menjelang pilkada serentak 2020. (Ilustrasi)

Sejumlah massa meminta kepada partai politik untuk menolak politik dinasti dalam proses pencalonan menjelang pilkada serentak 2020. (Ilustrasi)

Foto: Antara/Septianda Perdana
Fungsi rekrutmen yang tidak berjalan baik dapat menyuburkan dinasti politik.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nagara Institute merilis hasil riset terbaru terkait temuan dinasti politik pada pemilihan kepala daerah (pilkada) 2020, Senin (12/10). Hasilnya, sebanyak 124 calon kepala daerah (cakada) diketahui terpapar dinasti politik. 

"Secara hasil di sini ada 124 yang terafiliasi menjadi dinasti politik yang akan berkompetisi di pilkada 2020 dengan rincian 57 calon bupati dan 30 calon wakil bupati, 20 calon wali kota dan 8 calon wakil wali kota, 5 calon gubernur dan 4 calon wakil gubernur," kata Peneliti Nagara Institute Febriansyah Ramadhan dalam paparannya secara daring, Senin (12/10).

Febriansyah mengatakan, 124 cakada tersebut juga diklasifikasikan berdasarkan jenis kelamin. Hasilnya terdapat 67 diantaranya yaitu laki-laki dan terdapat 57 perempuan. 

"Dari 57 perempuan tersebut terdapat 29 kandidat perempuan yang merupakan istri dari Kepala Daerah sebelumnya," ujarnya.

Kemudian terkait sebaran wilayahnya, terdapat empat provinsi terbesar yang calon kepala daerahnya terpapar dinasti politik. Daerah-daerah tersebut di antaranya Sulawesi Selatan (12 kandidat), Sulawesi Utara (11 kandidat), Jawa Tengah (10 kandidat), dan Jawa Timur (9 kandidat).

Kemudian Nagara Institute dalam risetnya juga mengklasifikasi berdasarkan status petahana maupun yang bukan petahana. Dari 124 cakada, terdapat 22 orang berstatus petahana, sedangkan 102 kandidat orang pendatang baru. 

"Dari sini kita bisa memotret bagaimana perkembangan dinasti poltik di Indonesia. Dari angka ini menunjukan hal yang fantastis sekali, dan ini sudah menjadi tren," ucapnya.

Direktur Eksekutif Nagara Institute Akbar Faisal menyampaikan, sejumlah kesimpulan risetnya tersebut. Pertama, dia memandang, fungsi rekrutmen partai politik masih jauh dari harapan. 

"Partai politik belum berhasil untuk menjadi laboratorium yang menyiapkan calon pimpinan daerah yang berbasis pada nilai-nilai," ujarnya.

Akbar menambahkan, pragmatisme partai politik masih ditunjukkan dengan merekrut orang-orang yang bukan kader partai. Menurutnya, fungsi rekrutmen yang tidak berjalan baik dapat menyuburkan dinasti politik dalam demokratisasi di tingkat lokal. Nagara Institute juga merekomendasikan untuk menutup pilihan terhadap kandidat kepala daerah yang terpapar dinasti politik. 

Selanjutnya, dalam rangka perbaikan sistem partai politik di masa mendatang Nagara Institute memberikan rekomendasi kepada para pembentuk undang-undang (Presiden dan DPR) untuk segera merevisi Undang-undang partai Politik. "Khususnya mengenai kaderisasi partai politik yang mengharuskan seorang calon kepala daerah yang diusung oleh partai politik telah beproses menjadi kader partai sekurang-kurangnya selama lima tahun," ujarnya. 

Untuk diketahui riset tersebut dilakukan dengan metode kualitatif, dimana hasil risetnya tidak menggunakan prosentase persen, melainkan langsung menunjukan angka dan nama. Data primer diperoleh dari informan yang disebar ke beberapa daerah di seluruh Indonesia. Kemudian hasilnya dieloborasikan melalui pendekatan analisi wacana.

 

 
 

BERITA LAINNYA

 
 
 
Terpopuler