Senin 12 Oct 2020 14:59 WIB

Lelaki Tua yang Takzim ke Mbah Yai

Mbah Muh turun dari sepeda lalu menuntunnya saat melewati makam Mbah Yai.

Lelaki Tua yang Takzim ke Mbah Yai (Ilustrasi)
Foto:

Kami yang sedari tadi menguping pembicaraan seperti menahan napas, lalu menatap langkah Mbah Muh yang bergerak menjauh. Tubuhnya sedikit bungkuk ke depan, terlihat bergegas pergi keluar gerbang.

Beban berat selama ini seperti dipikul di pundaknya yang semakin terlihat ringkih. Setelah sosok Mbah Muh hilang dari pandangan, kami saling bertatapan. Diam.

Mbak Di masuk ke kantor pondok dengan wajah bingung. Antara sedih, kaget, dan bingung bercampur jadi satu.

"Mbah Muh enggak mau menerima uangnya," curhat Mbak Di, sambil duduk bersandar di dinding.

"Lah jelas. Itu sudah nazarnya Mbah Muh. Jadi, enggak mungkin mau menerima," celetuk Mbak Atul yang tiba-tiba datang dan ikut duduk berkerumun di kantor.

Mbak Atul adalah santri senior. Hampir sepuluh tahun dia nyantri sekaligus mengabdi di pesantren ini.

Orang-orang yang tinggal di sekitar pondok pesantren pun telah dianggap seperti tetangganya sendiri. Kami menatap Mbak Atul, menunggu ceritanya. Sadar dirinya diperhatikan, Mbak Atul menghela napas panjang, lalu memulai cerita.

Dulu Mbah Muh adalah preman, lalu merantau ke Kalimantan bersama keluarganya. Berharap ada pekerjaan, tapi ternyata tak ada yang bisa dikerjakannya karena tak memiliki keterampilan apa pun. Akhirnya beliau memilih pulang ke Jawa, tapi keluarganya menetap di Kalimantan.

Di Jawa ternyata masih sama, beliau kembali menjadi preman. "Beneran jadi preman?" Lusi kaget dengan cerita Mbak Atul.

"Iya, cerita Mak Ni yang tinggal dekat mushala Mbah Muh begitu," jawab Mbak Atul sambil menarik napas panjang.

Saat itu Mbah Yai sering jalan-jalan ke terminal, berbincang banyak hal dengan para preman dan orang-orang di sana. Saling menyapa dan berbasa-basi.

Konon katanya semua preman di terminal sungkan dengan Mbah Yai, termasuk Mbah Muh. Dan, saat itu Mbah Muh seolah menemukan jalan hidayah lewat Mbah Yai. Begitulah, bertobat adalah pilihan.

"Nazarnya apa?" tanyaku menyela, tak sabar dengan cerita Mbak Atul.

"Sebentar, to. Tak lanjutin dulu."

Setelah tobat dan mencari pekerjaan yang lebih baik, Mbah Muh kembali ke Kalimantan. Ternyata kesetiaan istri tak lagi berpihak kepadanya. Telah memiliki suami lagi tanpa pernah bertanya atau meminta pendapat kepadanya karena memang puluhan tahun Mbah Muh tak memberi kabar dan lalai dari tanggung jawab memberi nafkah lahir batin kepada keluarganya. Akhirnya Mbah Muh kembali lagi ke Jawa.

"Nazarnya?" tanya Mbak Di penasaran.

"Nazar Mbah Muh sederhana. Membersihkan piring-piring kotor sebagai salah satu cara membersihkan dosa-dosa di masa lalu. Kotoran yang menempel seperti dosa-dosa yang melekat di hatinya, yaitu piring. Mbah Muh bernazar tak mau menerima upah hasil mencuci piring. Jika dipaksa maka dia akan memberikannya kepada anak-anak yatim."

"Subhanallah," sahut kami serempak.

Dan kalian tahu, pagi tadi aku lihat di jalan raya depan makam, Mbah Muh begitu takzim kepada Mbah Yai.

"Ha?"

"Coba besok pagi kalian lihat saja sendiri."

Jadwal piketku pagi ini adalah menyapu paving dekat makam Mbah Yai. Saat kutengok ke arah jalan raya, kulihat Mbah Muh naik sepeda dari kejauhan. Menyapu kuhentikan sebentar, mengintip Mbah Muh dari balik celah pagar.

Teringat cerita Mbak Atul ke marin ma lam, aku ingin membuktikan kebenarannya. "Loh!" pekikku lirih, terkejut sambil menutup mulut, khawatir terlalu kencang yang membuat orang-orang curiga.

Kulihat Mbah Muh tiba-tiba turun dari sepeda tepat di jalan depan makam, lalu menuntunnya pelan. Sesekali menatap makam Mbah Yai dari balik pagar dengan binar mata sayu. Sedih.

"Benar kata Mbak Atul. Mbah Muh takzim sekali kepada Mbah Yai," kata Lusi yang tiba-tiba sudah berdiri di dekatku, sama-sama saling menatap kepergian Mbah Muh.

Sepeda kembali dinaiki setelah berada di batas ujung makam, sekitar 20 meter, tepat di garis batas rumah tetangga. Aku mengelus dada, seperti tamparan keras kepadaku sebagai santri.

"Masya Allah!"

Aku segera duduk karena teringat masih berdiri di dekat makam Mbah Yai. Mbah Muh saja yang berada lebih jauh dari makam Mbah Yai segera turun dari sepeda dan menuntunnya, sedangkan aku malah berdiri.

"Ngapunten, Mbah Yai."

-- Juni 2020

TENTANG PENULIS: ALFA ANISA, lahir di Blitar, 28 Maret. Mencintai puisi, kereta api, dan sunyi. Alumnus Ilmu Komunikasi Universitas Islam Balitar, Blitar, dan santri di Pondok Pesantren Mabhajatul 'Ubbad. Sehari-hari berkegiatan di Komunitas Penulis Blitar. Beberapa karyanya dimuat di media massa dan antologi bersama. Surat untuk Lukaadalah an tologi puisi tunggalnya. Bisa dihubungi di Facebook alfa anisa, Instagram @alfaanisa, dan di rumah karyanya, anisaalfinurfadila.wordpress.com.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement