Senin 12 Oct 2020 05:59 WIB

Mereka Ada untuk Kita

Kesalehan ritual harus berbuah kepada kesalehan sosial.

Warga menggantungkan bungkusan bahan makanan gratis di tembok di Kampung Menayu, Magelang, Jawa Tengah, Ahad (17/5). UntuK membantu perekonomian warga kurang mampu imbas pendemi virus corona, warga bersedekah bersama dengan memberikan bahan makanan gratis
Foto: Wihdan Hidayat/ Republika
Warga menggantungkan bungkusan bahan makanan gratis di tembok di Kampung Menayu, Magelang, Jawa Tengah, Ahad (17/5). UntuK membantu perekonomian warga kurang mampu imbas pendemi virus corona, warga bersedekah bersama dengan memberikan bahan makanan gratis

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh  Ihza Aulia Sururi Tanjung

Dua tahun satu bulan setelah kelahiran Nabi Muhammad SAW, lahir pula seorang sahabat bernama Abdullah bin Utsman (w. 13 H). Beliau adalah salah satu pembesar suku Quraisy dari jalur Bani Tamim. Sejak kecil, beliau merupakan sahabat dekat Rasulullah SAW. Ia menjadi teman bermain dan tempat berbagi perasaan dan keresahan. Umurnya yang terpaut tidak jauh, membuat hubungan antara keduanya semakin erat, terutama saat beliau diangkat menjadi nabi dan menerima wahyu dari Allah SWT. Sahabat Rasulullah itu adalah Abu Bakar Ash-Ashiddiq ra.

Loyalitas dan kedermawanannya sejak pertama kali masuk Islam, telah memenangkan hati Rasul, kawan karibnya sejak kecil. Saking cintanya, dalam kitab “Siyar A’lamin Nubala” karangan Imam Adz-Dzahabi, sebuah karya monumental dalam Sejarah Islam, Rasulullah SAW  pernah berkata, “Seandainya aku boleh memilih kekasih (dari umatku), tentulah aku akan memilih Abu Bakar.” (Ibnu Majah : 93). 

Kemurahan hati yang dimiliki mertua Rasulullah ini, jarang sekali bisa ditiru oleh para sahabat. Bahkan Sayyidina Umar bin Khattab sekalipun. Sahabat berbadan kekar dan gagah itu, merasa lelah ketika mengamalkan kebajikan-kebajikan sahabat nabi yang dijuluki “As-Shiddiq”. Sampai dalam sebuah riwayat diceritakan, Sayyidina Abu Bakr pergi keluar meninggalkan masjid setelah menunaikan shalat Shubuh. Dalam riwayat lain setelah naiknya matahari. Beliau pergi ke salah satu sudut kota Madinah, menetap di sebuah gubuk sampai waktu Dhuha, lalu barulah dia kembali ke rumahnya. 

Suatu hari, Umar mengawasi Abu Bakar di waktu fajar. Saat itu Abu Bakar melakukan hal yang sama seperti biasanya. Hampir semua kebaikan yang dilakukan Abu Bakar ia ketahui, kecuali rahasia satu ini. Hari-hari terus berjalan, sampai akhirnya Umar memutuskan untuk mengikutinya dan masuk ke dalam gubuk itu sesaat setelah Abu Bakar meninggalkannya.

Manakala Umar masuk ke dalam gubuk kecil itu, ia mendapatkan seorang nenek tua yang lemah tidak bisa bergerak. Nenek itu juga buta kedua matanya. Umar pun bertanya “Siapa laki-laki yang datang kepada kamu tadi ?" “Demi Allah saya tidak mengetahui”. Tentu saja Abu Bakar tidak akan datang dan berkata ‘saya Abu Bakar khalifah Umat Islam’. Lalu Umar bertanya lagi, “Apa yang dilakukan laki-laki itu di sini ?” Nenek menjawab, “Demi Allah, aku tidak mengetahui, wahai anakku. Setiap pagi dia datang, membersihkan rumahku ini dan menyapunya. Dia menyiapkan makanan untukku. Kemudian dia pergi tanpa berbicara apapun denganku.”

Setelah mendengar kesaksian tersebut, Umar menekuk kedua lututnya dan kedua matanya basah oleh air mata. Tubuhnya yang tegap, seketika lunak oleh kelembutan hati Khalifah pertama umat Islam itu. Beratnya amanah kepemimpinan yang diampu, tidak meruntuhkan kedermawanan beliau, lalu Umar berkata “Sungguh, engkau telah membuat lelah khalifah sesudahmu,  wahai Abu Bakar.”

Kisah inspiratif yang penulis kutip dari ceramah Syeikh Dr. ‘Aid Al-Qarni (Penulis buku ‘La Tahzan’), mengandung hikmah yang relevan dengan kondisi kita saat ini. Paling tidak, ada dua pelajaran penting yang bisa kita renungi. 

Pertama, kesalehan ritual harus berbuah kepada kesalehan sosial. Keimanan bukan hanya soal pribadi kita dengan Tuhan, tapi bagaimana keimanan memberi kemaslahatan kepada umat manusia. Sayyidina Abu Bakar adalah sosok konkret yang patut ditiru, terutama oleh para pemangku kekuasaan. Bukan hanya ibadah ritual yang beliau amalkan, tapi mengantar jenazah, menjenguk orang sakit dan memberi makan orang miskin atau kaum dhuafa (HR Muslim: 4400). Bukan sekedar shalat ke masjid, membaca Alquran dan shalat Tahajjud saja, tapi mengulurkan tangan membantu orang susah dan menyayangi yang papa.

Kedua, kehadiran orang susah dan tak berdaya itu sebagai lahan amal untuk kita. Secara lahiriah, kita yang menginfakkan harta untuk menolong mereka yang sedang dalam kesusahan. Tetapi pada hakikatnya, merekalah yang menolong kita, menyelamatkan kita dari api neraka. Sepanjang sejarah, orang susah, anak yatim, fakir miskin tidak akan hilang dari hadapan kita. Karena sebetulnya mereka adalah jalan yang Allah siapkan bagi kita untuk menggapai surga-Nya dan menjauhkan kita dari siksa neraka akibat tidak mengeluarkan zakat atau enggan bersedekah. 

Dalam masa yang sulit ini, kita harus tampil menjadi “Abu Bakar-Abu Bakar” bagi masyarakat. Sejatinya, bukan hanya soal banyaknya, tapi kepedulian kita terhadap orang-orang yang susah apalagi di tengah impitan pademi Covid-19. 

Akhirnya, mari kita teladani Abu Bakar sebisa mungkin,  seorang yang kuat imannya kepada Allah, cintanya tulus kepada rasul-Nya dan kaya lagi dermawan. Sebab itulah, dia terpuji di dunia dan di akhirat nanti. 

Allahu a’lam bish-showab.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement