Sabtu 10 Oct 2020 16:19 WIB

UU Cipta Kerja Sah, Ekonom Desak Adanya Perbaikan Birokrasi 

Meski ada UU Ciptaker, investasi tetap sulit bila tidak ada perbaikan birokrasi

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Pengesahan UU Cipta Kerja (ilustrasi)
Foto: republika
Pengesahan UU Cipta Kerja (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin mendesak adanya perbaikan birokrasi di Indonesia. Sebab investasi tetap akan sulit hadir jika masalah tersebut tak teratasi, walaupun kini ada Undang-Undang Cipta Kerja.

"Selama belum meng-address masalah di birokrasi, ini (investasi) akan sulit juga. UU Cipta Kerja itu (baru) pintu masuk," ujar Wijayanto dalam sebuah diskusi daring, Sabtu (10/10).

Baca Juga

Jika permasalahan birokrasi ini tak kunjung diselesaikan, akan sulit pula pemerintah mengimplementasikan subtansi yang ada di dalam UU Cipta Kerja. Salah satunya adalah pengadaan online single submission (OSS).

Mantan Staf Khusus Wakil Presiden Bidang Ekonomi itu juga mengatakan, permasalahan birokrasi ini juga akan menyebabkan sulit terbukanya lapangan pekerjaan. Sebab, investor akan menemui kesulitan dari birokrasi yang ada.

 

"Saya khawatirkan adalah sudah dibuka pintunya, ekspektasi tinggi sekali, regulasi yang lama sudah dipandang tidak berlaku, tetapi regulasi implementasi itu belum tersedia," ujar Wijayanto.

Di samping itu, akan ada banyak aturan turunan dalam mengimplementasikan UU Cipta Kerja. Aturan turunan yang dimaksud adalah peraturan Pemerintah (PP), peraturan presiden (perpres), peraturan menteri (permen), dan peraturan daerah (perda).

"Ada 40 aturan turunan yang bakal dikejar penyelesaiannya dalam sebulan, terdiri dari 35 peraturan pemerintah (PP) dan 5 peraturan presiden (perpres)," ujar Wijayanto.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) membeberkan sejumlah alasan mengapa UU Cipta Kerja diperlukan saat ini. Saat menggelar sidang kabinet bersama jajaran dan para gubernur secara virtual, Jumat (9/10) pagi tadi, Jokowi menyampaikan pentingnya UU Cipta Kerja yang baru saja disahkan tersebut.

Salah satunya untuk membuka lapangan kerja baru. Menurutnya, setiap tahun terdapat sekitar 2,9 juta penduduk usia kerja baru yang masuk ke pasar kerja. Karena itu, kebutuhan lapangan kerja baru pun dinilai sangat mendesak.

“Apalagi di tengah pandemi, terdapat kurang lebih 6,9 juta pengangguran dan 3,5 juta pekerja terdampak pandemi Covid-19,” kata dia saat konferensi pers di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Jumat (9/10).

Selain itu, sebanyak 87 persen dari total penduduk pekerja memiliki tingkat pendidikan setingkat SMA ke bawah, di mana 39 persen berpendidikan SD. Ia mengatakan, penciptaan lapangan kerja baru ini diperlukan khususnya di sektor padat karya.

“Jadi UU Cipta Kerja bertujuan untuk menyediakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya bagi para pencari kerja serta para pengangguran,” tambah dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement