Sabtu 10 Oct 2020 06:14 WIB
Cerita Pengalaman Liputan Wartawan Republika

Berita dari Istana: Gabut, Wawancara Menteri & Panglima TNI

Saya mewawancarai menteri hingga panglima TNI hanya karena tak ada berita.

Esthi Maharani, jurnalis Republika
Foto: dokumentasi pribadi
Esthi Maharani, jurnalis Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Esthi Maharani, Jurnalis Republika

Ada kalanya, hari-hari di dunia wartawan berjalan biasa saja. Bahkan terkadang sepi berita. Di saat seperti ini, harus pintar-pintar putak otak cari narasumber bagus dan isu yang menarik.

Selama tiga tahun bertugas di Istana Presiden dan Istana Wakil Presiden di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono hampir bisa dipastikan selalu ada narasumber. Mulai dari menteri-menteri sampai tamu-tamu negara.

Yang menjadi tantangan tersendiri di istana adalah waktu wawancara dengan menteri yang bisa sangat singkat sekitar 1-3 menit saja. Itu pun sambil berjalan dari kantor presiden ke parkiran mobil yang jaraknya kurang lebih 300 meter.

Jadi, bisa dibayangkan jika rapat kabinet paripurna, puluhan menteri berada di satu waktu, keluar dari kantor presiden hampir bersamaan, dan waktu wawancara yang singkat dan padat karena harus mengejar menteri lain yang sudah diincar. Di istana, hampir setiap hari selalu ada menteri yang datang. Bisa dibilang berita datang sendiri.

Tapi, ada kalanya ya cuma ada satu atau dua menteri yang nongol di istana. Di kondisi seperti ini, terkadang saya pun terbawa suasana untuk tidak terlalu ngoyo membuat berita. Dengan kata lain, ingin sedikit santai dari rutinitas banjir berita. Soalnya, dalam sehari, produksi berita di istana bisa belasan bahkan puluhan karena banyaknya narasumber dan dinamisnya isu yang berkembang. Beritanya pun bukan berita gimmick soal menu makan siang atau sejenisnya. Pokoknya, bisa bikin kram otak.

Jadi, kalau ada satu atau dua hari, tak ada acara kepresidenan atau menteri yang datang ke istana hanya satu atau dua orang, itu adalah momen bagi wartawan di istana untuk bisa sedikit rehat. Nah, cerita kali ini ya tentang hari yang landai ditambah dengan keinginan untuk agak santai.

Suatu hari, ketika rapat di kantor presiden selesai dan para menteri berhamburan keluar, saya masih belum memutuskan akan mengejar siapa dan bertanya apa. Belum ada persiapan apalagi update isu yang berkembang hari itu.

Satu per satu menteri lewat dan saya masih blank. Tak berapa lama Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi lewat di depan mata. Saya cukup akrab dengan Mendagri. Setidaknya Mendagri tahu nama saya dan sering menyapa. Karena kedekatan itu, saya jadi merasa punya punya kewajiban kalau bertemu dengannya harus bertanya.

Tanpa persiapan apa-apa, saya dikagetkan dengan ajakan teman yang menawarkan untuk mengejar Mendagri dan wawancara beliau. Sedikit begong tapi dengan sigap saya bilang “Ayo!”. Kami pun berlari dan memanggil Mendagri.

Tapi begitu Mendagri berhenti dan menunggu kami mendekat, ternyata teman saya dan saya sendiri juga tidak tahu mau bertanya apa. Akhirnya, kami cuma saling bertatapan. Mendagri lalu menantang: "Mau nanya apa?"

Kami terkekeh. Saya pun akhirnya bilang, “Apa kek Pak. Ada berita apa gitu?”

Mendagrinya kaget. “Lho, kalian ini gimana,” katanya sambil tertawa.

Lalu kami tertawa bersama sambil ngobrol ngalor ngidul. Jujur saja saya tidak ingat apa yang diobrolkan. Saya juga tak ingat apakah hasil obrolan itu saya tuliskan dalam bentuk berita. Tapi sepertinya tidak, lha wong obrolan gak ada isinya hehe.

Di lain kesempatan, hal yang hampir serupa juga terjadi ketika mewawancarai Panglima TNI, Laksamana Agus Suhartono. Yang saya ingat, Panglima TNI ini orangnya iseng.

Suatu waktu, saya memutuskan wawancara Panglima TNI. Saya cukup nekat mau wawancara Panglima TNI hanya karena alasan ‘daripada gak ada berita’. Apalagi hari itu benar-benar landai. Tak ada menteri yang datang ke istana. Jadi, daripada dimarahin kantor karena tidak kirim berita, saya memutuskan untuk mendekati Panglima TNI yang datang hari itu.

Alhasil, saya pun meracau. Entah apa yang saya tanyakan. Apalagi waktu itu, saya belum benar-benar menguasai isu-isu TNI. Panglima TNI mau-mau saja menjawab pertanyaan ngelantur yang saya lontarkan.

Tapi, lama kelamaan, Panglima TNI mencium bahwa saya tidak punya persiapan apa-apa untuk bertanya padanya. Lalu tiba-tiba dengan iseng dan tersenyum simpul Panglima TNI bilang, “Sudah, kalau gak ada yang mau ditanya, gak usah dipaksa,” katanya pergi meninggalkan saya yang garuk-garuk kepala.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement