Sabtu 10 Oct 2020 05:20 WIB

Benarkah UU Cipta Kerja Untungkan Nelayan?

UU Ciptaker merevisi sekitar 80 undang-undang lain yang telah ada.

Rep: Muhammad Nursyamsi/ Red: Nidia Zuraya
Nelayan Indonesia
Nelayan Indonesia

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo mengklaim Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja atau UU Ciptaker merupakan regulasi yang ditunggu-tunggu pelaku usaha di sektor kelautan dan perikanan. Dengan kemudahan perizinan, Edhy berharap keberlanjutan usaha semakin terjamin dan berdampak positif bagi perekonomian masyarakat.

"Kepastian usaha mereka, kepastian perizinan mereka. Jadi dengan Omnibus Law, ini yang ditunggu-tunggu," ujar Edhy dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id di Jakarta, Jumat (9/10).

Baca Juga

Sebelumnya, saat jumpa pers bersama sejumlah menteri lain di kantor Kementerian Koordinator bidang Perekonomian pada Rabu (7/10), Edhy mengaku senang dengan disahkannya Omnibus Law UU Cipta Kerja lantaran pekerjaan rumah bagi dirinya sedikit berkurang.

Kata Edhy, UU Cipta Kerja memangkas panjangnya rantai birokrasi terhadap kegiatan yang ada di sektor kelautan dan perikanan. Edhy mencontohkan tentang zonasi laut yang mana cukup satu pintu. Hal ini berbeda dengan sebelumnya yang mengharuskan adanya persetujuan dari banyak kementerian.

Edhy mengambil contoh kebijakan lain seperti perizinan kapal dalam UU Cipta Kerja yang akan menguntungkan para nelayan. Pun dengan kepastian usaha dan kepastian perizinan para nelayan yang menurut Edhy akan lebih terlindungi dengan adanya UU Cipta Kerja. Edhy mengatakan para nelayan juga tidak perlu lagi khawatir akan dikriminalisasi dengan adanya UU Cipta Kerja tersebut.

KKP menilai UU Cipta Kerja memberikan kestabilan dan keberlanjutan usaha perikanan, baik di perikanan tangkap maupun budidaya.

Direktur Pengelolaan Sumber Daya Ikan, Ditjen Perikanan Tangkap, KKP, Trian Yunanda menyebut kehadiran UU Cipta Kerja sesuai dengan semangat percepatan dan efektivitas pengurusan izin. Trian menyontohkan, sebelum undang-undang ini disahkan, KKP sudah menginisiasi perizinan cepat melalui sistem informasi izin layanan cepat (SILAT).

"Sebelum adanya UUCK ini, kita memang sedang mempercepat izin untuk mengkomodir pelaku usaha dan menggerakkan perekonomian," kata Trian.

Trian mengatakan keberadaan UUCK semakin melegitimasi percepatan perizinan tersebut sekaligus menegaskan komitmen pemerintah untuk memudahkan dan mendukung pelaku usaha. Selain itu, aturan ini juga mengintegrasikan perizinan kepada satu lembaga.

"Dari segi konstruksi hukumnya percepatan izin didukung regulasi yang lebih tinggi, ini yang bikin stabil dan mengikis ego sektoral yang justru menyusahkan pelaku usaha," ungkap Trian.

Trian memaparkan, SILAT sendiri berhasil memangkas waktu proses perizinan perikanan tangkap yang awalnya 14 hari menjadi 1 jam. Bahkan proses pengurusan izin sudah bisa dilakukan secara online dengan mengunggah seluruh berkas kelengkapan dokumen melalui e-service. Apabila berkas sudah terverifikasi, notifikasi surat perintah pembayaran akan muncul selanjutnya konfirmasi pembayaran akan masuk ke sistem secara otomatis dan pelaku usaha dapat mencetak dokumen perizinannya secara mandiri.

"Sejak 1 Januari hingga 30 September 2020, SILAT telah menerbitkan sebanyak 1.787 SIUP, 4.041 SIPI dan 286 SIKPI. Total penerimaan negara bukan pajak dari proses perizinan tersebut mencapai Rp 454,131 miliar," ungkap Trian.

Direktur Produksi dan Usaha Perikanan Budidaya, Arik Hari Wibowo menyebut izin tambak budidaya kini sudah satu pintu di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Sebelumnya, pelaku usaha harus melengkapi 21 izin dari berbagai instansi baru boleh melakukan usaha.

"Jadi sudah satu pintu di BKPM untuk izin budidaya udang," kata Arik.

Berbeda dengan klaim KKP, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menyebut UUCK membahayakan masa depan nelayan tradisional. Sekretaris Jenderal KNTI Iin Rohimin mengatakan puluhan pasal dalam UU tersebut berkaitan dengan sektor nelayan, kelautan, pesisir dan pulau-pulau kecil yang tidak berpihak pada nelayan tradisional.

Iin mengingatkan pemerintah dan DPR akan besarnya dampak yang ditimbulkan apabila meloloskan RUU tersebut bagi para nelayan. Ia mengambil contoh penghapusan pasal  kategori nelayan kecil dan besar. Iin menilai hal ini akan berdampak pada kesulitan akses BBM bersubsidi para nelayan kecil akibat dikuasai oleh nelayan skala besar.

Iin menjelaskan penghapusan ukuran nelayan kecil akan membingungkan dalam pembuatan program serta implementasi di lapangan. Pada Pasal 1 angka 11 UU no 45/2009 dijelaskan nelayan kecil menggunakan kapal perikanan berukuran paling besar 5 GT dan di Omnibus Law tidak ada ukuran gross ton yang memiliki implikasi yang serius terkait, misalnya, dalam program subsidi BBM.

"KNTI saat ini tengah melakukan investigasi dan langkah-langkah advokasi terkait tidak tersalurkannya BBM bersubsidi bagi nelayan kecil yang kuotanya sangat besar setiap tahun," ucap Iin kepada Republika.co.id di Jakarta, Senin (5/10).

Terkait pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau keci, kata Iin, dalam pasal 1 angka 17 UU 1/2014 disebutkan Rencana Zonasi Rinci adalah rencana detail dalam 1 (satu) Zona berdasarkan arahan pengelolaan di dalam Rencana Zonasi dengan memperhatikan daya dukung lingkungan dan teknologi yang diterapkan serta ketersediaan sarana yang pada gilirannya menunjukkan jenis dan jumlah surat izin yang diterbitkan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang diubah di dalam pasal 1 angka 17 menjadi "Rencana Zonasi Rinci adalah rencana detail dalam 1 (satu) Zona berdasarkan arahan pengelolaan di dalam Rencana Zonasi dengan memperhatikan daya dukung lingkungan dan teknologi yang dapat diterapkan serta ketersediaan sarana".

Kata Iin, Omnibus Law akan menghilangkan kewenangan daerah dalam penerbitan izin dan pengawasan yang sebenarnya akan sangat efektif jika dilakukan Pemda dibandingkan Pemerintah Pusat.

"Kita menyadari praktek mengakselerasi pembangunan yang terpimpin oleh pemerintah pusat cenderung gagal untuk memenuhi dan memahami kebutuhan daerah yang memiliki beragam situasi dan konteks tertentu," lanjut Iin.

Iin menambahkan, dalam Pasal 17A ayat 1 disebutkan bahwa "Dalam hal terdapat kebijakan nasional yang bersifat strategis yang belum terdapat dalam alokasi ruang dan/atau pola ruang dalam rencana tata ruang dan/atau rencana zonasi, Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan di Laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) diberikan oleh Pemerintah Pusat berdasarkan rencana tata ruang wilayah nasional dan/atau rencana tata ruang laut".

Ia menilai hal ini merupakan pasal karet dimana pemerintah pusat dapat juga memberikan izin sesuai tafsir dan kebutuhan pemerintah pusat tanpa memperhatikan rencana zonasi daerah. Kata Iin, RUU Cipta Kerja ini juga tidak mengakomodir sanksi yang tegas kepada pemegang izin lokasi yang tidak merealisasikan kegiatannya dalam jangka dua tahun sejak izin diterbitkan. Sanksinya hanya berupa sanksi administratif (Pasal 18) tanpa ada pencabutan izin lokasi seperti pada Pasal 18 UU 1/2014.

"Ini akan menyebabkan potensi wilayah yang ada tidak bisa dioptimalkan dan akan menimbulkan konflik bagi masyarakat pesisir yang telah dan akan mengelolanya," kata Iin.

Iin menilai Omnibus law juga memberikan kemudahan-kemudahan dalam rangka penanaman modal asing terhadap pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan yang sangat membahayakan serta rentan hilangnya akses bagi publik khususnya nelayan tradisional yang telah turun temurun mengelola suatu wilayah tertentu (Pasal 26A). Iin memandang Omnibus Law ini semakin meminggirkan peran dan perlindungan bagi nelayan kecil, tradisional, petambak garam, pembudidaya, serta pengelola hasil perikanan skala kecil yang menggerakkan ekonomi secara kolektif.

"Semangat untuk tidak memunggungi laut hanya sebatas lips service yang pada praktiknya hanya digaungkan pada momen-momen pemilihan umum," ungkap Iin.

Iin menilai logika keberpihakan yang ngawur serta tidak partisipatifnya proses perancangan undang-undang adalah masalah laten yang masih terus merugikan nelayan tradisional. Iin berharap DPR dan pemerintah tidak menutup mata dan telinga terhadap suara rakyat.

"Kalau memaksakan diri diketok palu, sama saja dengan menghancurkan rakyatnya sendiri. Wakil rakyat seharusnya mewakili suara rakyat bukan suara konglomerat atau pemodal yang ingin menguasai pesisir, laut dan pulau-pulau kecil," ucap Iin.

KNTI, kata Iin, siap bergabung dengan komponen nelayan, buruh, dan petani lain untuk melakukan aksi besar-besaran menentang RUU Omnibus Law tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement