Jumat 09 Oct 2020 17:58 WIB

Narasi 'Ditunggangi' Dinilai Mirip Cara Orde Baru

Menko Polhukam janji memproses hukum 'penunggang' unjuk rasa tolak Ciptaker.

Rep: Arif Satrio Nugroho/ Red: Agus raharjo
Polisi berusaha menghalau serangan pengunjuk rasa saat demo menolak Undang-undang Cipta Kerja di depan Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Jawa Timur, Kamis (8/10/2020). Aksi yang dikuti ribuan orang dari berbagai elemen mahasiswa dan buruh tersebut berakhir ricuh dan mengakibatkan sejumlah fasilitas umum rusak.
Foto: Antara/Zabur Karuru
Polisi berusaha menghalau serangan pengunjuk rasa saat demo menolak Undang-undang Cipta Kerja di depan Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Jawa Timur, Kamis (8/10/2020). Aksi yang dikuti ribuan orang dari berbagai elemen mahasiswa dan buruh tersebut berakhir ricuh dan mengakibatkan sejumlah fasilitas umum rusak.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Tudingan aksi massa penolak UU Cipta Kerja (Ciptaker) ditunggangi pihak tertentu oleh pemerintah menuai reaksi berbagai pihak. Tudingan ini dinilai mirip dengan cara-cara pemerintahan Orde Baru menyikapi demonstrasi.

Terlebih, narasi 'aksi ditunggangi' ini muncul serentak, mulai Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, dilanjutkan upaya menindak 'penunggang' aksi sebagaimana disampaikan Menko Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD pada Kamis (8/10) kemarin.

Tokoh cendekiawan Islam Ulil Abshar Abdalla berpendapat, ada karakteristik pemerintahan Orde Baru Soeharto yang juga dilakukan pada Pemerintahan Joko Widodo. Karakteristik itu dimulai tindakan aparat yang mengedepankan pendekatan keamanan, serta represif terhadap demonstran hingga jurnalis.

"Menurut saya ada kecenderungan makin otoriter pemerintah sekarang ini dan cara-cara yang dipakai oleh pemerintah Orde Baru dulu, sekarang tiba-tiba muncul lagi termasuk penggunaan pendekatan keamanan dengan pemrotes dan demonstran," ujar Ulil Abshar dalam sebuah konferensi pers bersama Koalisi Masyarakat Sipil, Kamis (8/10) malam.

Keadaan ini diperparah dengan tidak dibukanya ruang dialog oleh pemerintah pusat. Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang diharapkan para demonstran justru memilih meninggalkan titik unjuk rasa untuk menengok kawasan lumbung pangan di Kalimantan Tengah.

"Saya khawatir bila pemerintah tidak membuka dialog, menurut saya ini berbahaya. Saya meminta pada pemerintah karena situasi seperti ini Presiden layak mengeluarkan Perppu. Saya khawatir akumulasi kemarahan masyarakat," ujar Ulil yang juga aktif di Nahdlatul Ulama (NU) itu.

Upaya pendekatan keamanan yang represif ini, dinilai Ulil semakin keras dibanding demo-demo di masa sebelumnya. Hal ini, kata dia, menunjukkan negara semakin khawatir dengan para pemrotes. Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengatakan, apa yang dilakukan Polri pada pendemo RUU Ciptaker sesuai dengan telegram Kapolri dengan nomor STR/645/X/PAM.3.2./2020, yang diterbitkan pada tanggal 2 Oktober 2020 untuk menghalau para pendemo.

"Akibatnya menjatuhkan korban sangat banyak. Telegram itu bahkan menghalangi dan menangkap mereka (demonstran) sebelum melakukan aksi," ujar dia.

Ia melaporkan, banyak peserta aksi ditangkap, bukan hanya di Jabodetabek, tapi juga belasan provinsi di berbagai daerah. Koalisi Masyarakat Sipil masih berupaya menghimpun jumlah peserta yang ditangkap. Ada juga pembubaran massa aksi tanpa alasan. Padahal massa baru boleh dibubarkan bila dia melakukan tindak kekerasan.

"Sedang orasi tiba-tiba disemprot gas air mata. Ini memang kalau kita lihat polisi sudah menjadi alat pemerintah untuk mendukung agar Omnibus Law tetap diberlakukan," kata Asfinawati.

Asfinawati juga mengecam tudingan Airlangga soal adanya aksi ditunggangi. Menurut dia, tudingan itu adalah fitnah dan sebuah binaan terhadap pihak-pihak yang menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja malalui berbagai kajian.

Tak hanya itu, jurnalis yang telah menunjukkan kartu pers hingga seragam pers dengan landasan UU Nomor 40 tahun 1999 juga dianiaya, bahkan ditangkap polisi. Hal ini juga terjadi dalam aksi demonstrasi besar sebelumnya di masa pemerintahan Jokowi.

Sebelumnya, Menko Airlangga Hartarto menuding banyaknya gerakan aksi demo yang menentang disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja karena disponsori pihak tertentu. "Sebetulnya pemerintah tahu siapa behind (di belakang) demo itu. Jadi kita tahu siapa yang menggerakkan. Kita tahu siapa sponsornya, kita tahu siapa yang membiayainya," kata Airlangga, Kamis (8/10).

Airlangga mengeklaim UU sapu jagat ini didukung oleh seluruh lapisan masyarakat termasuk kalangan buruh. "Jadi pemerintah tidak bisa berdiam hanya untuk mendengarkan mereka yang menggerakan demo dan jumlah federasi yang mendukung UU Ciptaker ada empat federasi buruh besar," katanya.

Kemudian pada Kamis (8/10) malam, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD langsung menyebut pemerintah bakal memproses hukum pelaku dan aktor-aktor yang menunggangi demonstrasi dengan tindakan anarkistis dan kriminal di sejumlah daerah.

"Pemerintah melakukan proses hukum terhadap semua pelaku dan aktor yang menunggangi atas aksi-aksi anarkis yang sudah berbentuk tindakan kriminal," ujar Mahfud saat konferensi pers di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Kamis malam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement