Jumat 09 Oct 2020 11:06 WIB

Kali Angke: Kuburan 10 Ribu Orang Cina di Geger Pecinan

Mayat 10 Ribu orang Cina yang dibantai VOC karena memberontak dibuang ke Kali Angke.

Rep: Meiliza Laveda/ Red: Karta Raharja Ucu
Rumah-rumah orang Cina di dekat Kali Besar, dibakar. Pembantaian 10 ribu etnis Tionghoa pada 9 Oktober 1740 menjadi salah satu tragedi memiliku di Batavia.
Foto:

Penduduk Cina

Sebelum kedatangan orang Belanda di Banten (1596), banyak Orang Cina menetap dan berdagang di sana di sekitar orang Portugis dan bangsa lain. Kelebihan orang Cina adalah mereka mendapat kontak langsung dengan penduduk sampai di pelosok-pelosok desa dan mereka dapat melakukan pembelian lada langsung dengan penduduk.

Pada saat itu, Batavia sebagai tempat singgah kapal-kapal dagang VOC dibangun, kota tersebut memerlukan isi. Orang Cina menjadi pilihan pertama J.P. Coen sebagai gubernur jenderal saat itu. Selama abad ke-17 dan awal abad ke-18, jumlah orang Cina di sekitar Batavia tidak besar.

Namun, lama-lama penduduk Cina di Batavia mengalami pengaturan. Pertama adanya sistem opsir. Untuk memudahkan pengawasan orang Cina yang jumlahnya semakin besar, pemerintah melalui Dewan Hindia melakukan sistem opsir atau Kapitan Cina (Kapitein).

Kapitan adalah gelar yang diberikan oleh pemerintah colonial untuk mengatur urusan golongan ras berkenaan dengan agama dan adat istiadat. Seorang kapitan diharapkan dapat menyelesaikan pertikaian di antara golongan rasnya yang berkenaan dengan hukum adat mereka. Mereka adalah pedagang yang menggunakan posisi itu untuk memperbaiki bisnis mereka.

Mereka bekerja di kantor yang bernama Kong Koan (Gong Guan) dan berungsi sebagai administrator. Misal, mereka ditugasi menjelaskan peraturan pemerintah kepada kaumnya serta menarik pajak dari orang Cina.

Pengaturan kedua, sistem pemukiman (Wijkenstelsel). Untuk mengawasi penduduk Cina, pihak Belanda memberlakukan sistem wilayah (wijkenstelsel). Dalam sistem ini, orang Cina diharuskan tinggal pada tempat tertentu di bawah pengawasan kapitan mereka. Sistem ini juga melarang orang Cina hidup di antara orang pribumi, sehingga membatasi komunikasi antara orang Cina dan ras lain.

Pengaturan ketiga, yakni sistem status. Penempatan penduduk Kota Batavia dibagi berdasarkan agama mereka, yaitu Islam, Kristen, dan non-Kristen. Pembagian ini sejalan dengan pembagian ras. Sistem pemukiman, pas jalan (pasbriefje), dan status memaksa orang Cina tinggal di dalam kota. Hal ini tidak memungkinkan orang Cina menjadi petani. Mereka baru boleh meninggalkan tempat tinggal mereka jika mereka memiliki pas jalan.

“Keadaan di Batavia semakin tidak menentu jelang tahun 1740. Sejak tahun 1639 dan awal 1740 orang Cina dari daerah sekitar Batavia (ommelanden) yang memasuki Batavia harus memiliki tanda masuk (permissiebriefje atau pasbriefje). Tak jarang orang Cina tertangkap dan ditahan karena tidak memiliki surat tersebut. Di samping itu, banyak barang mereka dirampok, tubuh mereka disiksa oleh pejabat kompeni. Sikap sewenang-wenang itu membuat sakit hati orang Cina,” kata Lilie Suratminto.

Untuk mencegah adanya perlawanan orang-orang Cina yang merasa tidak puas dengan kebijakan pemerintah di sekitar Batavia, tanggal 25 Juli 1740 dikeluarkan resolusi yang berlaku bagi semua orang Cina di Batavia. Dalam resolusi tersebut tercantum usulan Van Imhoff sejak bulan April 1740, semua yang dicurigai sebagai Cina gelandangan, baik yang punya atau tidak punya permissiebriefje, harus ditangkap.

“Mereka dikapalkan dan selanjutnya atas putusan pemerintah dikirim paksa ke Ceylon, Sri Lanka untuk dipekerjakan di perkebunan di sana,” ujar dia.

Namun, reaksi orang Cina atas penerapan itu justru negatif. Di antara mereka timbul desas-desus para tahanan sampai di tengah lautan akan dibuang. Kapitan Cina, Ni Hoe Kong yang waktu itu sebagai perantara Kompeni dengan warga Cina tidak dapat berfungsi dengan baik. Fungsi kapitan mulai kabur dengan semakin banyaknya orang Cina pendatang.

Di ommelanden, banyak orang Cina yang mengusahakan perkebunan gula. Sejak 1705, permintaan gula di pasaran Eropa tinggi sehingga menarik imigran Cina untuk bekerja di sektor gula.

Namun, saat itu gula “tidak berjaya” karena adanya persaingan harga gula dari Benggala dan Hindia Barat. Perdagangan sektor gula benar-benar terpukul. Banyak pabrik gula di Ommelanden gulung tikar. Karena itu, keadaan di Ommelanden dan Batavia benar-benar kritis karena banyaknya pengangguran, terutama di kalangan orang Cina.

Kebencian warga Cina terhadap pemerintah memuncak dan pecahlah huru-hara pada tanggal 9 Oktober 1740. Huru-hara tersebut disertai dengan pembantaian terhadap warga Cina di Batavia secara besar-besaran. Harta mereka dijarah dan rumah mereka dibakar.

Pembantaian secara massal juga dipicu oleh iming-iming dari Dewan Hindia atas perintah Valckenier. “Bahwa siapa saja yang dapat membunuh orang Cina di luar kota akan memperoleh hadiah dua ducat untuk setiap kepala,” ujar dia.

Pembantaian itu sangat tragis karena ditujukan kepada setiap orang Cina, baik anak-anak maupun dewasa. Bahkan orang-orang Cina yang sedang sait, dirawat di rumah sakit, dan yang sakit jiwa dibunuh sangat keji. Huru-hara ini mengorbankan lebih dari 10.000 jiwa, tak hanya korban jiwa, juga menghabiskan harta benda termasuk beberpaa pabrik gula di ommelanden.

Pengejaran terhadap orang Cina melawan kompeni berlangsung terus sampai tahun berikutnya di sekitar Batavia. Pada tanggal 4 Juni 1741 tentara Kompeni yang terdiri dari 150 tentara Eropa, 250 tentara pribumi, 100 angkatan laut, dan satu kompi pelontar granat, pasukan kavaleri, dan 100 orang diberangkatkan ke Bekasi untuk menyerang pertahanan orang Cina. Masalah Cina kemudian banyak dipolitisasi oleh para pejabat, baik Kompeni maupun penguasa darah yang mau mengambil hati ompeni dengan janji ikut membasmi orang Cina.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement