Kamis 08 Oct 2020 00:03 WIB

Sejumlah Guru Besar Nyatakan Keberatannya Atas UU Ciptaker

"Kami tidak menginginkan Indonesia bergerak ke arah demoralisasi," kata Susi.

Guru Besar Universitas Padjadjaran Susi Dwi Harijanti (tengah). (ilustrasi)
Foto: Antara/Indrianto Eko Suwarso
Guru Besar Universitas Padjadjaran Susi Dwi Harijanti (tengah). (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah guru besar, dekan dan akademisi dari 67 perguruan tinggi di Tanah Air menyatakan keberatan dengan pengesahan Undang-undang Cipta Kerja (Ciptaker). Akademisi menilai pengesahan UU Ciptaker oleh DPR terburu-buru.

"Mengapa UU Ciptaker yang prosedur dan materinya, yang muatannya banyak bermasalah harus terburu-buru disahkan? Bahkan, menyita waktu istirahat para anggota dewan dan menteri yang terhormat," ujar perwakilan dari akademisi, Prof Susi Dwi Harijanti, dalam pernyataannya yang disiarkan secara daring di Jakarta, Rabu (7/10).

Baca Juga

Guru Besar Universitas Padjadjaran itu mengatakan pernyataan sikap para guru besar, dekan maupun akademisi itu, merupakan bentuk tanggung jawab kaum akademik dan intelektual. Susi menjelaskan pengesahan UU Ciptaker pada 5 Oktober lalu dilakukan pada tengah malam. Padahal, biasanya pekerjaan politik yang dilakukan tengah malam seringkali berdekatan dengan penyimpangan.

"Pengesahan pada tengah malam itu menjungkirbalikkan perspektif publik pada gambaran kerja DPR dan pemerintah pada pembentukan UU. Biasanya DPR dan pemerintah lamban dalam membuat UU, bahkan UU yang jelas-jelas dibutuhkan oleh rakyat malah ditunda pembahasannya," tuturnya.

Dia menambahkan, saat UU tersebut masih berbentuk draf banyak yang mengkritik. Akan tetapi, pembuat UU bergeming. Padahal berdasarkan UU, partisipasi publik wajib dilibatkan dalam penyusunan aturan.

"Lalu dianggap apa partisipasi publik. Apakah tidak ingin mendengarkan suara kami, sebagai pemegang kedaulatan? Jadi untuk siapa sebenarnya UU ini, jika rakyat tidak didengar," imbuh dia.

Pakar hukum tata negara itu menjelaskan UU Ciptaker bahkan melanggar nilai konstitusi UUD 1945. Contohnya, pada Pasal 18 ayat lima UUD 1945, yang mana pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, namun ternyata pada UU tersebut justru menarik kewenangan ke pusat.

"Peran Pemda dikerdilkan dan membuat Jakarta terlalu kuat. Begitu juga dengan hak buruh yang seakan diambil alih dengan menyerahkannya pada peraturan perusahaan," ujarnya.

Susi menambahkan, bagaimana relasi antara buruh dan perusahaan dapat berjalan adil, jika buruh diwajibkan mematuhi peraturan yang dibentuk perusahaan.

"Jangankan hak manusia, hak lingkungan hidup pun diabaikan," katanya.

Dia memohon kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi), para menteri, dan semua tim yang terlibat dalam pembentukan UU Ciptaker untuk mendengarkan masukan dari rakyat yang disampaikan para akademisi.

"Kami tidak menginginkan Indonesia bergerak ke arah demoralisasi dan korupsi yang meluas akibat dibuatnya UU Ciptaker," tutupnya.

Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Zainal Arifin Mochtar menilai, UU Ciptaker dibuat dengan cara tidak transparan. Publik dan sebagian lembaga negara tidak mendapatkan naskah RUU Ciptaker, tapi tiba-tiba RUU itu sudah ada di DPR.

"Kita tidak bisa mengakses sama sekali. Padahal, partisipasi dan sosialisasi tidak bisa dilepaskan dari konteks penyusunan aturan," kata Zainal, Rabu (7/10).

Zainal juga menilai, penyusunan UU tersebut, sama sekali tidak melibatkan publik. Padahal, Omnibus Law Cipta kerja memuat 79 UU dan lebih dari 1.200 pasal dari belasan klaster.

"Proses pengayaan wacana di dalamnya tidak ada, padahal 11 klaster yang ada memiliki logika dan paradigma yang berbeda. Bagaimana digabung dalam satu konteks dan dilakukan secara cepat," tambah dia.

Diketahui, DPR dan pemerintah telah menyepakati seluruh hasil pembahasan omnibus law RUU Cipta Kerja. Kesepakatan itu diambil dalam rapat kerja pengambilan keputusan Tingkat I RUU Cipta Kerja yang diselenggarakan di Kompleks Parlemen, Senayan, Sabtu (3/10) malam.

Setelah fraksi-fraksi DPR, pemerintah, dan DPD menyampaikan pandangan, Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas mengetuk palu tanda persetujuan pengambilan keputusan Tingkat I RUU Cipta Kerja. Selanjutnya, RUU Cipta Kerja akan disahkan di rapat paripurna DPR.

Rapat Paripurna DPR yang terjadwal pada Kamis (8/10) pun kemudian dimajukan menjadi Senin (5/10). DPR pun mempercepat penutupan masa sidang pertama pada 2020-2021.

Pada Selasa siang, Rapat Paripurna DPR pun benar-benar digelar. Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin yang memimpin rapat menanyakan persetujuan para anggota yang hadir dalam forum tersebut.

"Perlu kami sampaikan, berdasarkan yang telah kita simak bersama. Sekali lagi saya memohon persetujuan di forum rapat paripurna ini, bisa disepakati?" tanya Azis, Senin (5/10).

"Setuju," dijawab serentak oleh anggota DPR yang hadir, diikuti ketukan palu oleh Azis tanda regulasi sapu jagat itu telah disahkan menjadi undang-undang.

Azis menegaskan, pihaknya tidak mempercepat pengambilan keputusan untuk mengesahkan RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang. Di mana semula, forum pengesahan sedianya akan dilakukan pada 8 Oktober mendatang.

Menurutnya, hal itu merupakan keputusan bersama dalam rapat badan musyawarah (Bamus). "Ya ini kan sudah kesepakatan badan musyawarah, dari sembilan partai tujuh partai menyatakan setuju," ujar Azis usai rapat paripurna penutupan Masa Sidang IV, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (5/10).

Ia mengatakan, semua pihak tak boleh hanya berprasangka buruk terhadap UU Cipta Kerja yang disahkan. Termasuk kepada kelompok buruk, yang menyatakan kecewa terhadap keputusan DPR.

"Rancangan ini disahkannya ini kan untuk kepentingan seluruh masyarakat. Jangan berpikir negatif dulu, kalau hal ini semua sudah termasuk mengakomodir kepentingan," ujar Azis.

photo
infografis aturan tenaga kerja dalam UU cipta kerja - (republika)

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement