Rabu 07 Oct 2020 18:56 WIB

Iran Khawatir Armenia Versus Azerbaijan Jadi Perang Regional

Iran yang berbatasan dengan Armenia dan Azerbaijan mendorong perdamaian kawasan.

Presiden Iran Hassan Rouhani.
Foto: Iranian Presidency Office via AP
Presiden Iran Hassan Rouhani.

REPUBLIKA.CO.ID, BAKU  -- Presiden Iran Hassan Rouhani memperingatkan bahwa konflik antara prajurit Azerbaijan dan pasukan etnis Armenia di Kaukasus Selatan dapat memicu perang regional. Pernyataan Rouhani disampaikan saat  jumlah korban tewas semakin meningkat pada hari ke-11 pertempuran.

"Kita harus mengingatkan agar perang antara Armenia dan Azerbaijan tidak menjadi perang regional," kata Presiden Rouhani dalam sambutan yang disiarkan televisi, Rabu.

Baca Juga

"Perdamaian adalah dasar dari upaya kami dan kami berharap dapat memulihkan stabilitas kawasan dengan cara damai," ia menambahkan.

Rouhani mengatakan, Iran tidak akan mengizinkan negara-negara mengirim teroris ke perbatasan negara itu dengan berbagai dalih.

Lebih dari 300 orang telah tewas dalam pertempuran baru di dalam dan sekitar daerah kantong pegunungan Nagorno-Karabakh yang menurut hukum internasional adalah milik Azerbaijan tetapi dihuni dan diatur oleh etnis Armenia.

Azerbaijan mengatakan, kota-kota Azeri di luar zona konflik juga telah diserang dalam pertempuran paling mematikan dalam lebih dari 25 tahun. Kondisi itu membawa pertempuran itu lebih dekat ke wilayah dekat jaringan pipa membawa gas dan minyak Azeri ke Eropa.

Iran yang berbatasan dengan Armenia dan Azerbaijan, telah berbicara dengan kedua bekas republik Soviet. Iran khawatir Turki, sekutu dekat Azerbaijan, dan Rusia, yang memiliki pakta pertahanan dengan Armenia, dapat terseret ke dalam konflik.

Dalam seruan baru untuk gencatan senjata, Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan dalam sebuah wawancara televisi bahwa peristiwa itu adalah tragedi dan Moskow sangat prihatin.

Kepala Badan Intelijen Luar Negeri SVR Rusia Sergei Naryshkin mengatakan pada Selasa (6/10) bahwa konflik tersebut menarik orang-orang yang dia gambarkan sebagai tentara bayaran dan teroris dari Timur Tengah. Naryshkin mengatakan Nagorno-Karabakh bisa menjadi basis bagi militan Islam untuk memasuki Rusia dan negara bagian lain di wilayah tersebut.

Turki membantah terlibat dalam konflik dan telah menepis tuduhan yang pertama dilontarkan oleh Presiden Prancis Emmanuel Macron dan digaungkan Presiden Suriah Bashar al-Assad, bahwa Turki telah mengirim milisi Suriah untuk berperang dalam konflik tersebut.

Serangan teroris

Namun, mengulangi tuduhan itu dalam komentarnya kepada Sky News, Perdana Menteri Armenia Nikol Pashinyan mengatakan bahwa tindakan Turki dan Azerbaijan selama konflik tersebut sama dengan "serangan teroris".

"Bagi saya, tidak ada keraguan bahwa ini adalah kebijakan melanjutkan genosida Armenia dan kebijakan mengembalikan kekaisaran Turki," kata Pashinyan, Rabu.

Sekitar 1,5 juta warga Armenia dilaporkan terbunuh di bawah pemerintahan Ottoman antara tahun 1915 dan 1923.

Turki mengakui bahwa banyak warga Armenia yang tinggal di kekaisaran tewas dalam bentrokan dengan pasukan Ottoman selama Perang Dunia I. Namun Ankara membantah angka tersebut dan menyangkal bahwa pembunuhan itu diatur secara sistematis dan merupakan genosida.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement