Jumat 02 Oct 2020 07:20 WIB

Jangan Serahkan Tata Kelola Sistem Pangan pada Pasar

Kerawanan pangan akibat shock pandemi menunjukkan perlu tatanan sistem pangan baru

Pekerja mengangkut beras lokal di Perum Bulog Subdivre Lebak-Pandeglang, Banten, Senin (22/6/2020). Bulog Subdivre Lebak-Pandeglang menargetkan penyerapan beras hasil panen petani lokal di Banten sebanyak 8.300 ton guna membantu pendapatan ekonomi para petani lokal sekaligus menjaga stabilitas ketahanan pangan daerah.
Foto: ANTARA/Muhammad Bagus Khoirunas
Pekerja mengangkut beras lokal di Perum Bulog Subdivre Lebak-Pandeglang, Banten, Senin (22/6/2020). Bulog Subdivre Lebak-Pandeglang menargetkan penyerapan beras hasil panen petani lokal di Banten sebanyak 8.300 ton guna membantu pendapatan ekonomi para petani lokal sekaligus menjaga stabilitas ketahanan pangan daerah.

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Pandemi Covid-19 yang terhitung sejak bulan Maret 2020 merubah banyak kondisi, tak terkecuali pada sektor pangan. Perubahan kondisi yang terhitung cepat pada saat pandemi seperti sekarang ini, khususnya pada sektor pangan, mampu dijadikan sebuah bentuk pengujian secara langsung atas sistem pangan nasional yang telah berjalan dari waktu ke waktu

Kerawanan pangan akibat shock pandemi ini menunjukkan perlu tatanan sistem pangan yang tidak seluruhnya menyerahkan sistem pangan pada pasar. Terkait masalah ini, Guru Besar Ekonomi Universitas Brawijaya Prof. Dr. Ahmad Erani Yustika mengatakan, dari sisi kelembagaan, koperasi dan Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) merupakan dua organisasi ekonomi yang paling tepat untuk menggerakkan perekonomian di desa.

Mengutip Bung Hatta, Ahmad Erani mengatakan, koperasi merupakan lembaga yang bisa menempa ekonomi rakyat yang lemah agar menjadi kuat. Kedua, koperasi bisa merasionalkan perekonomian yakni dengan mempersingkat jalan produksi ke konsumsi.

"Koperasi juga merupakan senjata persekutuan kaum lemah untuk mempertahankan hidupnya," tegas Ahmad Erani, dalam seri webinar #Obrolin Pangan Gies to Campus, yang menyapa civitas akademika Universitas Brawijaya, dalam keterangannya kepada Republika.co.id di Jakarta, Jumat (2/10).

Di era seperti sekarang ini, jelas Ahmad Erani, koperasi bisa berperan penting dalam tiga hal. Pertama, koperasi memperluas nilai tambah dan skala ekonomi dengan memproduksi komoditas dalam jumlah besar.

"Karena pelaku-pelakunya bersekutu di situ, skalanya relatif banyak bukan satuan sehingga konsolidasi lahan bisa dilakukan, produksi bisa ditingkatkan, sehingga proses hiliriasi bisa dilakukan," jelas Ahmad Erani.

Kedua, dengan posisi tawar yang kuat dengan, berkolaborasi dalam koperasi tadi, petani tidak lagi menjadi penerima harga, tetapi petani yang berkumpul, bisa menjadi penentu harga. "Dari situlah nanti kesejahteraan bisa diterima," ujarnya.

Ketiga, koperasi merupakan kolaborasi antarwarga dalam membangun kedaulatan dan kemandirian pangan.

"Koperasi bukan gerakan individu. Kolaborasi antar warga ini menjadi penting untuk mencegah petani saling memangsa, antar desa saling memangsa. Dalam koperasi kekuatan utama adalah saling kolaboras, jika tidak, maka tidak akan bisa bekerjasama dengan bergandengan tangan, yang suatu saat akan melemahkan koperas itu sendiri," ujarnya.

Sementara itu, Wakil Dekan III Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Dr. Hagus Tarno mengatakan, dari sisi peningkatan kapasitas petani, pemberdayaan petani bisa dilakukan dengan menggelar sekolah-sekolah lapang pertanian.

Sekolah lapang pertanian sendiri lahir dari kegagalan revolusi hijau yang banyak menekankan penggunaan input-input kimia sintetis dalam upaya peningkatan produksi pertanian dan pengendalian hama.

"Ternyata ketergantungan terhadap pupuk dan pestisida kimia berdampak pada tingginya kadar residu, dari beberapa penelitian menunjukkan, pada beras yang kita makan kita jumpai banyak residu bahan kimia dalam kadar yang membahayakan kesehatan," ujar Hagus.

Sementara itu, Koordinator Nasional Koalisi Rakyat Utuk Kedaulatan Pangan Said Abdullah mengatakan, sistem pangan yang berlaku saat ini diakui memang belum memberikan keadilan khususnya untuk masyarakat di desa.

"Peningkatan produksi pertanian menyisakan problem 820 juta orang kelaparan, itu jumah yang sangat banyak, dua pertiga orang yang lapar saat ini ada di pedesaan yang menjadi korban sistem pangan ini justru produsen pangan itu sendiri," kata pria yang akrab disapa Ayip itu.

Hal memburuk di saat pandemi karena pandemi membuat akses pangan terbatas, dan pendapatan produsen pangan menurun. "Ketergantungan pada pangan impor yang sangat besar. Di pandemi kita melihat ada situasi dimana rantai pasok pangan sangat rapuh dan inilah yang membuat pendapatan petani menurun," jelas Ayip.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement