Jumat 02 Oct 2020 06:25 WIB

Ekonom: Bantuan Pemerintah Belum Mampu Dongkrak Konsumsi

Di tengah resesi ekonomi, lemahnya daya beli menjadi suatu yang tidak bisa dihindari.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Nidia Zuraya
Konsumen berbelanja di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta, Kamis (3/9). Badan Pusat Statistik (BPS) mengaharapkan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang sudah dicanangkan pemerintah dapat efektif membentu penguatan daya beli masyarakat.Prayogi/Republika.
Foto: Prayogi/Republika
Konsumen berbelanja di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta, Kamis (3/9). Badan Pusat Statistik (BPS) mengaharapkan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang sudah dicanangkan pemerintah dapat efektif membentu penguatan daya beli masyarakat.Prayogi/Republika.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonomi Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, mengatakan, lemahnya daya beli yang tercermin dari deflasi dalam tiga bulan terakhir menunjukkan beragam bantuan pemerintah belum dapat mendongkrak permintaan masyarakat.

Ia mengatakan, di tengah resesi ekonomi, lemahnya daya beli memang menjadi suatu konsekuensi yang tidak bisa dihindari. Namun, tetap dibutuhkan evaluasi dari pemerintah agar kebijakan ekonomi tetap dapat mendongkrak konsumsi masyarakat.

Baca Juga

"Pola deflasi yang terjadi saat ini lebih kepada komposisi suplai yang melimpah namun permintaan sedikit," kata Yusuf kepada Republika.co.id, Kamis (10/1).

Ia menjelaskan, hasil survei Bank Indonesia memang menunjukkan adanya peningkatan uang beredar di masyarakat. Selain itu, belanja pemerintah terus meningkat sehingga seharusnya dapat mendongkrak daya beli masyarakat.

Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Laporan terakhir BPS menunjukkan terjadi deflasi pasa September 2020 sebesar 0,05 persen. Situasi itu melanjutkan laju deflasi yang terjadi sejak Juli 2020.

Menurut Yusuf, bantuan-bantuan langsung kepada masyarakat dari pemerintah belum relatif banyak menyentuh masyarakat. Seperti misalnya, subsidi gaji yang baru menyentuh pekerja dengan gaji 5 juta ke bawah yang terdftar sebagai anggota BP Jamsostek.

Ia mengatakan, pemerintah perlu merancang kebijakan untuk membantu kelas menengah karena golongan tersebut juga mempengaruhi tingkat daya beli masyarakat.

"Lalu, untuk bantuan sosial bagi masyarakat miskin. Sebenarnya masih relatif berpeluang untuk diperluas karena basis data penerima masih menggunakan yang tahun lalu. Pemda juga belum banyak update terkait data keluarga miskin," katanya.

Yusuf juga menyoroti soal anggaran program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang masih mengalokasikan cadangan stimulus fiskal. Menurut dia, pemerintah perlu kembali melakukan realokasi anggaran yang ditujukan untuk bantuan perlindungan sosial langsung kepada masyarakat.

Tanpa ada kebijakan yang tepat dan strategis, Yusuf menilai, sulit bagi pemerintah untuk dapat mendongkrak daya beli secara signifikan. Pasalnya, di tengah kebijakan pemerintah daerah yang kebanyakan tak lagi menerapkan PSBB, masyarakat masih enggan untuk beraktivitas. Karena itu, pelru terobosan yang luar biasa dari pemerintah agar konsumsi dapat dinaikkan.

"Tentu ini harus dimulai dengan terobosan menurunkan kasus Covid-19," katanya.

Sementara itu, Deputi Bidang Koordinasi Makro dan Keuangan, Kementerian Koordinator Perekonomian, Iskandar Simorangkir, menilai, deflasi yang terjadi tiga bulan terakhir akibat adanya suplai yang melimpah. Sementara untuk permintaan, ia berpendapat masih cukup positif.

Karena itu, di tengah suplai yang meningkat dan permintan yang masih dalam tren positif, wajar jika terjadi deflasi untuk yang ketiga kalinya.

Adapun, dalam pencegahan Covid-19, pemerintah pusat dan daerah telah meminta masyarakat untuk menjalankan protokol kesehatan dengan berbagai sosialisasi.

Namun, penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang saat ini dijalankan di Jakarta membuat aktivitas ekonomi tidak bisa dilakukan dengan kapasitas penuh.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement