Jumat 02 Oct 2020 00:14 WIB

Bawaslu: Kampanye Tatap Muka Masih Jadi Andalan

Hampir separuh kampanye pada 28-30 September 2020 dilakukan tatap muka.

Sejumlah kegiatan dilarang pada masa kampanye Pilkada 2020 terkait pandemi Covid-19.
Foto: Republika
Sejumlah kegiatan dilarang pada masa kampanye Pilkada 2020 terkait pandemi Covid-19.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI menyebutkan metode kampanye tatap muka masih menjadi andalan para pasangan calon (paslon) dan kampanye paslon peserta Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020. Hal ini berdasarkan hasil pengawasan Bawaslu terhadap pelaksanaan kampanye Pilkada Serentak 2020, pada 28-30 September 2020.

"Hampir separuh metode kampanye dilakukan tatap muka," ujar Anggota Bawaslu RI Mochammad Afifuddin saat Webinar Mappilu PWI bertema "Mewujudkan Pilkada Serentak 2020 yang Sehat dan Berbudaya", Kamis (1/10).

Baca Juga

Afifuddin menyebutkan total kegiatan kampanye terdapat pada 582 titik di 187 kabupaten/kota. Terdiri atas pertemuan terbatas tatap muka yang paling banyak, yakni 250 kegiatan atau 43 persen.

Di bawahnya, penyebaran bahan kampanye 128 kegiatan (22 persen), pemasangan alat peraga 99 kegiatan (17 persen), kampanye media sosial 64 kegiatan (11 persen), dan kampanye dalam jaringan 11 kegiatan. Dari data tersebut, kata Afifuddin, sebenarnya dapat merefleksikan bahwa tatap muka masih menjadi pilihan metode yang dilakukan paslon atau tim kampanye paslon.

Artinya, kata dia, perlu kesadaran masyarakat untuk mematuhi protokol kesehatan karena tatap muka berpotensi terhadap penyebaran Covid-19. Afifuddin mengakui memang relatif susah untuk mengubah langsung tradisi masyarakat yang selama ini senang berkumpul atau bertatap muka, terbukti dari temuan Bawaslu memang masih mendominasi.

Selain itu, kata dia, Bawaslu kali ini memiliki semacam fungsi tilang dalam menindak pelanggaran dalam tahapan-tahapan pilkada. Tahapan termasuk membentuk gugus tugas bersama unsur lain seperti kepolisian yang akan berkoordinasi langsung di lapangan untuk membubarkan kegiatan.

"Karena kalau orientasi kita hanya melakukan penindakan setelah seseorang atau kelompok melakukan perkumpulan, maka sejatinya kalau ada persoalan wabah penyakit sudah menyebar. Jadi, yang kita lakukan benar-benar sebelum kumpul harus bubar," ujar Afifuddin.

Anggota KPU RI I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi menyampaikan menjaga jarak memang jauh secara kultural dan sosiologis masyarakat Indonesia secara komunal. "Sudah dibangun sejak kecil kalau bertemu sahabat, senior atau orang-orang yang dihormati untuk mendekat. Artinya, memerlukan komitmen mengubah kultur masyarakat untuk menerapkan protokol kesehatan yang baik," katanya pula.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement