Kamis 01 Oct 2020 13:24 WIB
Cerita di Balik Berita

Liputan Termahal Olimpiade London: 100 Pound Kejar Eko Yuli

Saya duduk di bangku offisial, wawancara eko yuli, liputan bareng dirut Republika.

Abdullah Sammy.

Pagi harinya di Wisma Indonesia, saya bangun telat. Sepupu masih tidur dan sulit untuk dibangunkan. Karena ada agenda liputan, saya pun bergegas jalan seorang diri menuju lokasi pertandingan.

Dari Wisma Indonesia, terlihat dari kejauhan tiang tribun Stadion Wembley yang melegenda itu. Berdasarkan pengamatan visual, saya pun mengikuti arah pemandangan tribun Wembley.

Namun, semakin mendekati stadion, ternyata pemandangan tribun jadi tak terjangkau mata karena tertutup atap-atap rumah. Saya jadi sulit membaca arah. Di sisi lain ponsel saya mati. Jadilah saya berjalan tanpa arah yang jelas.

Selama satu jam saya berjalan, Wembley tak juga didapati. Hingga akhirnya seorang polisi dengan mengendarai mobil patroli mendekati saya. Dia bertanya apa yang saya lakukan berjalan mondar mandir di sekitar jalanan besar.

Ternyata gerak gerik saya terekam CCTV Kota London. Saya menjelaskan saya wartawan yang tersesat di jalan yang salah. Jalan yang salah dalam arti sebenarnya karena saya tak juga mendapati lokasi Wembley. Si petugas pun menjelaskan rute yang mesti saya lewati. Hingga akhirnya dua jam berlalu dan saya baru bisa sampai di Wembley.

Selain bulu tangkis yang laganya berlangsung di Wembley Arena, cabang unggulan yang diikuti atlet Indonesia adalah angkat besi. Sialnya, seluruh tiket angkat besi ludes. Soal tiket ini ada kisah menarik. Pada hari kedua perebutan medali saya nekad datang tanpa tiket.

Saya datang bertiga. Tapi dua rekan saya yang lain telah memiliki tiket. Akhirnya saya harus berpisah dengan dua orang rekan di pintu depan arena pertandingan. Saya berpisah sambil berkata akan menunggu mereka di lokasi yang sama setelah pertandingan usai.

Tapi keberuntungan menghampiri saya setelah berpamitan dengan kedua rekan. Tanpa diduga saya melihat dua orang dengan jaket Indonesia hendak memasuki pintu arena. Segera saja saya cegat keduanya. Dua orang itu adalah ofisial angkat besi Indonesia, yakni lifter Sinta Darmarini dan dokter atlet angkat besi Andi Kurniawan.

Saya menyapa mereka. Kemudian saya bercakap-cakap beberapa menit. Mereka menanyakan mengapa saya tidak masuk. Saya menjawab bahwa tiket seluruhnya ludes. Dengan baik hati mereka menawarkan saya untuk masuk ke bangku ofisial. Tentu saja tawaran itu saya sambar.

Saya beruntung. Bangku yang saya dapatkan adalah bangku para lifter, pelatih, dan ofisial. Saya duduk bersebelahan dengan lifter legendaris Korea Utara yang sehari sebelumnya meraih emas, Kim un Guk. Empat tahun kemudian dia kembali meraih emas olimpiade plus memecahkan rekor dunia.

Karena berhasil masuk, saya pun sontak mengirim pesan ke teman yang lokasinya di bangku penonton. Saya melambaikan tangan ke mereka dengan penuh bahagia.

Sebelum momen di hari kedua itu, saya hanya bisa meyaksikan laga angkat besi dari layar kaca. Pada hari pertama saya menonton laga di Kedubes Indonesia. Tak disangka, pada hari pertama itu atlet Indonesia Eko Yuli Irawan membuat kejutan dengan merebut perunggu.

Walhasil pada malam Eko meraih perunggu saya berinisiatif mengejar lifter asal Lampung tersebut guna mewawancarainya di pintu luar arena angkat besi. Kereta bawah tanah sudah tutup karena waktu mendekati larut. Saya memilih naik taksi dari kawasan Oxford Street menuju Dockland yang menjadi area angkat besi. Di dalam taksi pikiran saya bercabang. Antara Eko Yuli dan argo taksi.

Pertama saya mesti berjudi untuk mencari Eko Yuli di area pertandingan yang besarnya kira-kira serupa dengan luas PRJ Kemayoran. Namun yang tak menyita perhatian saya adalah argo kuda taksi London. Hingga argo menyentuh angka 50 poundsterling, saya belum juga mendapati tanda-tanda keberadaan Eko Yuli.

Beberapa meter menjelang pintu masuk kawasan Exell Arena Dockland, saya melihat Erick Thohir. Dia bersama beberapa orang berjaket kontingen Indonesia sedang berjalan kaki. Sontak saya spontan berteriak ke sopir taksi, "setop pak". Beruntung masih ada kata stop yang dimengerti oleh sang sopir. Kalau hanya kata "pak", mungkin saya bisa dijotos si sopir akibat pelafalannya mirip dengan bahasa umpatan.

Tanpa buang banyak waktu, saya memberi uang kepada sang sopir dan langsung mengejar rombongan kontingen Indonesia. Ternyata tebakan saya tepat. Dalam rombongan ada Eko Yuli. Saya  meminta izin untuk mewawancarai Eko. Wawancara empat mata secara eksklusif.

Wawancara eksklusif itu kemudian saya rangkai dalam tulisan berjudul Pahlawan Bangsa di Tengah Gulita. Selesai wawancara saya kembali harus memeriksa uang di kantong celana.

Tak ada pilihan lain bagi saya selain kembali naik taksi. Sebab mobil kontingen Indonesia penuh. Saya kembali harus mengeluarkan uang sekitar 50 poundsterling sebagai ongkos pulang.

Setibanya di kamar hotel, saya membatin. Mungkin inilah liputan termahal yang pernah saya lakukan untuk mewawancarai narasumber. Total saya harus mengeluarkan sekitar 100 poundsterling demi wawancara eksklusif sekitar 15 menit.

Namun semua itu terbayar lahir dan batin. Secara batin saya puas karena bisa mendapatkan wawancara eksklusif. Tapi secara lahir, liputan itu malah berujung kembalinya uang taksi.

Singkat cerita, artikel kisah Eko Yuli itu kemudian masuk sebagai finalis penghargaan Adiwarta 2012. Sebagai finalis, saya mendapatkan uang tunai Rp 2,5 juta. Jika dikurskan ke nilai tukar mata uang pondsterling yang sekitar 17 ribu, maka hadiah Adiwarta setara dengan 150 pondsterling. Itu berarti liputan Eko Yuli tak hanya balik modal, melainkan untung 50 poundsterling!

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement