Kamis 01 Oct 2020 13:52 WIB

40 Persen Tumbuhan Dunia Terancam Punah

Di antara yang termasuk terancam punah adalah tanaman bahan baku obat.

Rep: Meiliza Laveda/ Red: Dwi Murdaningsih
Tanaman Artemisia annua disebut sebagai salah satu herbal yang berpotensi mengobati virus corona jenis baru.
Foto: Wikipedia
Tanaman Artemisia annua disebut sebagai salah satu herbal yang berpotensi mengobati virus corona jenis baru.

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON – Sebuah laporan baru dari Royal Botanic Gardens menyebut sekitar 40 persen dari spesies tumbuhan dunia terancam punah. Pada penelitian sebelumnya tahun 2016 menunjukkan 20 persen spesies tumbuhan berada di bawah ancaman.

Namun, dari laporan yang diterbitkan Rabu (30/9) mengacu pada hasil penelitian 210 ilmuan dari 42 negara untuk mengungkap skala masalah dan menggunakan data dan metodologi yang ditingkatkan.

Baca Juga

"Penggundulan hutan telah melonjak karena kita telah membuka lahan untuk memberi makan lebih banyak orang, emisi global yang mengganggu sistem iklim, patogen baru yang mengancam tanaman dan kesehatan kita, perdagangan ilegal telah memusnahkan seluruh populasi tanaman, dan spesies bukan asli yang mengalahkan tanaman lokal," menurut laporan dari RBG Kew yang melakukan penelitian ilmiah tentang tumbuhan dan jamur serta menjalankan kebun raya terkenal di London Barat, dilansir dari CNN, Kamis (1/10).

Direktur Sains di RBG Kew, Alexandre Antonelli mengatakan situasi ini hanya berpacu dengan waktu. Sebab, saat ini sudah kehilangan tanaman lebih cepat.

"Dunia tanpa 40 persen tumbuhan bukanlah dunia yang kita kenal sekarang. Meskipun kami tidak tahu apa efek dari kehilangan mereka, apa terjadi bencana besar. Karena kami tidak memahami spesies mana yang berperan penting dalam ekosistem tertentu. Semuanya terhubung," kata dia.

Di antara yang terancam adalah tanaman obat. Apalagi permintaan obat-obat alami semakin melonjak yang mengancam kelangsungan hidup mereka. Dalam studi ini, sebanyak 723 dari 5.411 tanaman obat terancam.

Para peneliti mengatakan peningkatan permintaan untuk obat-obatan herbal didorong oleh penyakit kronis umum tertentu yang lebih tinggi dan pencarian pengobatan baru. Sementara beberapa tanaman obat lain mengalami eksploitasi berlebih.

Laporan tersebut merekomendasikan lebih banyak dana untuk proyek menemukan, memberi nama, dan melestarikan spesies. Dengan begitu dapat memberikan solusi bagi permasalahan umat manusia, seperti kerawanan pangan dan perubahan iklim sebelum tanaman tersebut punah.

Agar lebih mudah dipahami misal, manusia hanya mengandalkan 15 tanaman untuk memenuhi 90 persen kebutuhan makanan, menambah masalah malnutrisi, dan membuat kita rentan terhadap perubahan iklim. Namun, para ilmuwan di Kew telah mengidentifikasi 7.039 spesies tanaman yang dapat digunakan sebagai makanan.

"Memanfaatkan sumber daya yang belum dimanfaatkan untuk membuat sistem pangan dan produksi lebih beragam dan tahan terhadap perubahan, harus menjadi kewajiban moral kita untuk generasi sekarang dan masa depan," kata mantan Ilmuwan Senior di Alliance of Biodiversity International dan Pusat Internasional untuk Pertanian Tropis, Stefano Padulosi dalam laporannya.

Situasi ini serupa dalam hal menghasilkan energi. Saat ini, masyarakat menggunakan enam tanaman, yakni jagung, tebu, kedelai, minyak sawit, lobak, dan gandum untuk menghasilkan 80 persen bahan bakar nabati global.

Tapi para peneliti telah mengidentifikasi 2.500 tanaman yang dapat digunakan untuk menghasilkan energi. Energi tersebut berpotensi menjadi keuntungan besar bagi 840 juta orang yang diperkirakan saat ini tidak memiliki akses listrik.

"Kolaborasi internasional dapat membantu kami mengidentifikasi tanaman dan jamur yang akan membuat energi bersih dan berkelanjutan dan dapat diakses oleh semua orang," kata direktur pelaksana Pusat Penelitian Energi dan Konservasi Energi Makrere University, Mary Suzan Abbo.

Menurutnya, pendekatan ini dapat digunakan untuk mengurangi penggunaan kayu dan arang yang tidak berkelanjutan.

Laporan tersebut juga menjelaskan banyak spesies yang telah diidentifikasi baru-baru ini, termasuk dua kerabat baru singkong dari Brasil. Menurut para ahli itu dapat membuktikan tanaman pangan di masa depan dengan membuatnya tahan hama atau penyakit.

Sayangnya perkembangan seperti ini kemungkinan kecil. Sebab, sekarang telah banyak spesies yang hilang.

Antonelli berharap konsumen perlu membuat pilihan yang berkelanjutan sambil meminta pertanggungjawaban pemimpin atas kebijakan. Dia menekankan kerja sama internasional akan menjadi kunci untuk mengurangi ancaman dan memanfaatkan semua yang dapat dilakukan tanaman dan jamur untuk umat manusia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement