Rabu 30 Sep 2020 10:28 WIB

Korting Hukuman, MA: Majelis Hakim Miliki Independensi

Lebih dari 20 terpidana kasus korupsi dapat hadiah pengurangan hukuman melalui PK.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Agus Yulianto
Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango
Foto: ANTARA/Hafidz Mubarak A
Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- 'Sunatan' hukuman koruptor melalui putusan Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung (MA), terus berlanjut. Terbaru adalah dua mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang menjadi terpidana korupsi proyek KTP-elektronik (KTP-el) Irman dan Sugiharto. 

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nawawi Pomolango kembali menunjukan keprihatinannya terkait fenomena korting hukuman tersebut. Nawawi yang juga mantan Hakim itu meminta, agar MA memberikan argumen yaitu legal reasoning pengurangan hukuman dalam perkara-perkara a quo, agar tidak menimbulkan kecurigaan publik. 

Menanggapi pernyataan Nawawi, Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat Mahkamah Agung, Abdullah menegaskan, majelis hakim memiliki independensi yang tidak bisa dipengaruhi siapapun. Ia pun meminta, sebelum memberikan komentar agar membaca secara lengkap setiap putusan yang ada. 

"Memutus perkara merupakan kewenangan hakim, sesuai dengan rasa keadilan majelis hakim yang bersangkutan. Hakim/majelis hakim memiliki independensi yang tidak bisa dipengaruhi siapapun," tegas Abdullah kepada Republika, Rabu (30/9).

"Saya dan siapapun tetap harus menghormati putusan apa adanya. Jika memberikan komentar lebih bijak membaca putusan lebih dahulu. Setelah mengetahui legal reasoning-nya baru memberikan komentar, kritik maupun saran saran. Putusan tidak bisa dipahami hanya dengan membaca amarnya saja," tambah Abdullah. 

Diketahui, lebih dari 20 terpidana kasus korupsi mendapatkan hadiah berupa pengurangan hukuman melalui putusan peninjauan kembali (PK) sepanjang 2019-2020. Terbaru, Majelis PK MA menjatuhkan hukuman 10 tahun pidana penjara terhadap Sugiharto yang merupakan mantan Direktur Pengelolaan Informasi dan Administrasi Ditjen Dukcapil Kemendagri sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) proyek KTP-el. Sebelumnya dalam putusan kasasi Sugiharto dijatuhkan hukuman 15 tahun pidana. 

Tak hanya itu, MA juga mengkorting hukuman Irman yang merupakan mantan Direktur Jenderal Dukcapil Kemendagri sekaligus Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dari 15 tahun penjara di tingkat kasasi menjadi 12 tahun penjara. 

Juru Bicara MA Andi Samsan menjelaskan, meskipun hukuman pidana penjara dikurangi, keduanya tetap dijatuhkan hukuman denda sebesar Rp 500 juta subsider 8 bulan kurungan. Selain itu, Irman dan Sugiharto juga tetap dijatuhi hukuman tambahan berupa kewajiban membayar uang pengganti sebagaimana putusan kasasi. 

Dalam amar putusan terhadap Irman, Majelis PK menjatuhkan kewajiban membayar uang pengganti sebesar 500 ribu dollar AS dan Rp 1 miliar dikurangi uang yang telah diserahkan Irman kepada KPK sebesar 300 ribu dollar AS subsider 5 tahun pidana penjara. Sementara Sugiharto diwajibkan membayar uang pengganti sebesar 450 ribu dollar AS dan Rp 460 juta dikurangi uang yang telah disetorkan kepada KPK subsider 2 tahun penjara.

Adapun salah satu pertimbangan Majelis PK mengabulkan permohonan PK yang diajukan Irman dan Sugiharto yakni lantaran Irman dan Sugiharto telah ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai juctice collborator (JC) dalam tindak pidana korupsi sesuai keputusan Pimpinan KPK No. 670/01-55/06-2017 tanggal 12 Juni 2017. Selain itu, keduanya juga bukan pelaku utama dan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang signifikan terkait perkara korupsi proyek KTP-el. 

"Sehingga penyidik dan penuntut umum dapat mengungkap peran pelaku utama dan pelaku lainnya dalam perkara a quo," ujar Andi. 

Dikatakannya, putusan PK Irman dan Sugiharto tersebut merupakan hasil musyawarah Majelis PK yang terdiri dari Hakim Agung Suhadi selaku Ketua Majelis PK serta Hakim Agung Krisna Harahap dan Sri Murwahyuni selaku Anggota Majelis. Putusan Majelis PK pun tidak bulat lantaran Hakim Agung Suhadi menyatakan dissenting opinion  (DO) atau silang pendapat. Suhadi menilai Irman dan Sugiharto memiliki peran penting dalam korupsi proyek KTP-el yang merugikan keuangan negara karena keduanya merupakan kuasa pengguna anggaran dalam proyek KTP-el. 

"Namun demikian, putusan PK kedua perkara tersebut hasil musyawarah majelis hakim PK tidak bulat karena Ketua Majelis, Suhadi menyatakan dissenting opinion (DO). Suhadi menyatakan dissenting opinion karena Terpidana a'quo memiliki peran yang menentukan yaitu sebagai kuasa pengguna anggaran," ucap Andi. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement