Selasa 29 Sep 2020 23:09 WIB

Pemerintah Akui Kesulitan Tracing Pasien Covid-19

Resistensi saat pelacakan jadi kendala terbesar penelusuran pasien Covid-19.

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Indira Rezkisari
 Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito mengungkapkan, sulitnya tracing disebabkan masih adanya stigma negatif di tengah masyarakat terhadap warga yang positif Covid-19.
Foto: ANTARA/Akbar Nugroho Gumay
Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito mengungkapkan, sulitnya tracing disebabkan masih adanya stigma negatif di tengah masyarakat terhadap warga yang positif Covid-19.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah menyebutkan ada kendala dalam melakukan tracing atau pelacakan terhadap pasien positif Covid-19 di Indonesia. Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito mengungkapkan, sulitnya tracing disebabkan masih adanya stigma negatif di tengah masyarakat terhadap warga yang positif Covid-19.

Hal ini membuat pasien tidak terbuka terkait riwayat kontak dan perjalanannya. Pihak-pihak yang masuk dalam daftar kontak juga tidak mau membuka diri kepada petugas medis di lapangan.

Baca Juga

"Kendala terbesar saat ini adalah tracing atau pelacakan. Karena banyaknya resistensi di masyarakat, di lapangan, akibat adanya stigma masyarakat. Selain itu ada pemberitaan negatif atau hoaks yang menghilangkan rasa percaya kepada pasien yang menjadi subjek tracing," ujar Wiku dalam keterangan pers di kantor presiden, Selasa (29/9).

Padahal, tracing merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk seluas mungkin melakukan pengetesan PCR. Semakin banyak yang dites, semakin banyak pula orang yang 'ketahuan' positif Covid-19 atau tidak, maka tahapan isolasi mandiri bisa langsung dilakukan. Isolasi bagi seluruh kasus positif ini penting dilakukan agar rantai penularan berhenti.

"Kami imbau kepada masyarakat untuk memahami bahwa keterbukaan kita semuanya sangat penting dalam upaya pemerintah melakukan tracing. Mereka harus terbuka terkait riwayat perjalanan dan interaksi yang telah dilakukan," kata Wiku.

Wiku juga mendorong publik tidak melemparkan stigma negatif kepada pasien positif Covid-19. Masyarakat justru harus saling bantu dan melindungi agar pandemi segara berakhir. Pasien Covid-19 harus didukung agar melakukan isolasi mandiri demi memutus rantai penularan.

"Bersikap jujur dan suportif ketika dilakukan identifikasi kontak erat kepada petugas adalah hal yang sangat penting dalam mengefektifkan program 3T kita," ujar Wiku.

Kapasitas testing di Indonesia saat ini sebenarnya masih di bawah standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). WHO mematok angka ideal testing adalah 1 spesimen per 1.000 penduduk per pekan di setiap negara.

Dengan jumlah penduduk 267 juta orang, maka Indonesia perlu menjalankan testing setidaknya 267 ribu setiap pekan atau sekitar 38.100 tes sehari. Mengacu pada data Selasa (29/9), sebanyak 37.158 spesimen dites dalam sehari.

Meski angka tes hari ini beda tipis dengan standar WHO, perlu dipahami ada ketimpangan kapasitas tes antardaerah di Indonesia. Ada provinsi dengan kapasitas testing memadai, namun ada juga yang minim tes.

"Meskipun secara nasional angka testing belum mencapai target WHO namun ada 5 provinsi yang testingnya melebihi standar WHO, yakni DKI Jakarta, Sumatra Barat, Bali, Sulawesi Selatan, dan Papua," kata Wiku.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement