Selasa 29 Sep 2020 08:42 WIB

Kisah Puisi Bunga Mekar dari Mao Zedong untuk DN Aidit

Puisi Bunga Mekar Gugur Sendiri dari Mao Zedong untuk DN Aidit

DN Aidit dan Mao Zedong
Foto: Google.com
DN Aidit dan Mao Zedong

REPUBLIKA.CO.ID, -- Dalam beberapa hari terakhir, perhatian Muslim Indonesia harus diakui memang terpaku pada soal kontroversi kebangkitan PKI. Banyak tokoh yang memperbincangkannya. Di media sosial soal ini pun terasa rinduh rendah. Pernyataan mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo menjadi pembicaraan.

Dan soal PKI dengan segala kontroversinya memang membetot perhatian. Bahkan ada  politisi partai tampak berusaha membelokannya dengan mengatakan soal kebangkitan PKI saat ini bukan hal urgen, sebab hal yang lebih penting adalah soal penanganan C0vid-19.Dan tampaknya isu tak populer dan diangap jadi angin lalu bagi umat Islam. Apalagi fakta dari survei BPS yang terakhir ternyata masih ada 17 persen warga Indonesia yang yakin bahwa pandemi Covid-19 itu tak ada dan dirinya tak akan terkena wabah ini.

Namun, kembali pada soal masalah kebangkitan PKI ini ingataka soal ini kembali pada peristiwa yang terjadi sekitar setahun silam. Tepatnya, kala itu ada sebuah diskusi buku yang penting terkait soal peristiwa tragedi G30S PKI 1965 dengan kaaitannya pada keterlibatan pemimpin negara asing (China), Mao Zedong, atas tragedi itu.

Topik itu menjadi penting karena Apalagi sampai hari ini soal ini masih mengambang. Padahal kalau ditelisik kebenaran atas hubungan Ketua Umum PKI dan ‘Paman Mao’ atas kasus itu tak jelas. Dalam diskusi ini ternyata diketahui hubungan keduanya menjadi jelas yang semula hanya sekedar menjadi desas-desus.

Dalam diskusi yang diberitakan Republika.co.id buku berjudul "Revolusi, Diplomasi, Diaspora: Indonesia, Tiongkok dan Etnik Tionghoa 1945-1947" karya Taomo Zhou, di sana  ternyata dimuat cuplikan dialog antara pentolan PKI DN Aidit dan tokoh komunis, sekaligus pendiri Republik Rakyat China, Mao Zedong. Pernyaaan ini disampaikan Prof Dewi Fortuna Anwar saat bedah buku itu, di Jakarta, Senin (29Juli 2019).

"Yang menarik dari buku ini adalah transkrip dari percakapan Mao Zedong dengan Aidit pada tanggal 5 Agustus," katanya. Dewi Fortuna dihadirkan bersama Prof Asvi Warman Adam dan Johanes Herliyanto untuk membedah buku setebal 526 halaman itu.

Transkrip percakapan kedua sosok itu dihadirkan pada bab delapan yang mengangkat sub judul Tiongkok dan Gerakan 30 September, khususnya halaman 362-363 buku itu, dibuka dengan pertanyaan Mao Zedong.

Dari catatan di buku, transkrip percakapan itu bersumber dari arsip pusat Partai Komunis China, tertanggal 5 Agustus 1965.

Menurut Dewi Fortuna, pembahasan dalam buku yang dilengkapi dengan transkrip percakapan Aidit dengan Mao Zedong itu menunjukkan bahwa Beijing tidak terlibat langsung dengan G30S/PKI.

"Tetapi, bukan berarti Beijing tidak mendukung upaya PKI suatu saat untuk merebut kekuasaan, baik melalui jalan partai atau jalan revolusioner," katanya.

Sementara itu, Prof A Dahana selaku penerjemah ahli buku itu mengakui buku tersebut merupakan yang pertama mengungkapkan secara langsung percakapan antara Aidit dengan Mao Zedong.

"Dari percakapan ini membuktikan bahwa Aidit mengatakan akan melakukan tindakan yang kemudian menjadi G30S/PKI. Mao mendukung, tapi Mao tidak pernah tahu kapan Aidit akan melakukan itu. Itu menurut buku ini," katanya.

Adanya teman fakta baru itu maka teka-teki soal pengaruh Cina melalui Mao Zedung sedikit terungkap. Selama ini kentalnya aroma hubungan Aidit dengan Mao hanya teraba atau terindikasi dari sebuah puisi yang dibuatnya ketika tahu Aidit tertangkap di Boyolali. Tragisnya setelah berhasil diringkus oleh pasukan penyergap dikomandani oleh Yasir Hadi Broto (mantan mendiang gubernur Lampung), Aidit menemui maut dengan cara ditembak. Yasir dalam sebuah wawancara di media ibu kota beberapa puluh tahun silam mengatakan dia menembak selain karena Aidit memintanya juga karena ada perintah untuk dari atas untuk segera 'menyelesaikan' persoalan.

Dalam peristiwa itu Yasir mengatakan kemudian memutuskan pasukannya menembak karena merasa Aidit akan bikin repot. Akhirnya, Ketua PKI ini pun di tembak mati. Sebelum diberondong oleh regu tembak dan jenazahnya di masukan ke dalam sumur tua, Aidit sempat diberi kesempatan untuk berpidato. Aidit pidato penuh semangat berkobar.

Menurut Yasir, pidato itu malah membuat anggota pasukannya makin geram dan membuat regu tembaknya makin ingin menembaknya mati. Padahal saat itu Aidit ketika ditangkap kepada Yasir acapkali menyatakan keinginannya bahwa dia akan menjelaskan detil soal peristiwa G30S pada presiden Soekarno. Namun, menurut Yasir ketika dia melaporkan soal penangkapan Aidit yang telah bikin repot untuk menjaganya dengan melaporkan kepada atasannya Jendral Soeharto yang kata itu tengah berada di Yogyakarta, dia malah memintanya agar soal Aidit 'segera diselesaikan'.



Maka di sumur tua di Boyolali berakhirlah nasib pria bernama asli Ahmad Aidit. Nasib anak kampung kepulauan Belitung yang bersuara merdu dan piawai melantunkan azan itu berakhir tragis.

Dan bagi Mao Zedong sendiri kematian Aidit adalah kehilangan besar bagi dunia komunis internasional. Bahkan kemudian, khusus untuk Aidit, Mao Zedong menulis puisi perpisahan untuk Aidit. Isinya melankoli penuh keharuan, layaknya sebuah lagu eligi karena mengibaratkan dia seperti 'bunga mawar mekar dan gugur sendiri'.

Begini puisi Paman Mao untuk Aidit yang sebenarnya selama ini sudah tersebar di media:



Tegap menghadap jendela dingin di ranting jarang

Tersenyum mendahului mekarnya berbagai kembang


Sayang wajah girang tak berwaktu panjang


Malahan gugur menjelang musim semi datang


Yang akan gugur, gugurlah pasti


Gerangan haruskah itu mengesalkan hati?


Pada waktunya bunga mekar dan gugur sendiri


Wanginya tersimpan menanti tahun depan lagi

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement