Selasa 29 Sep 2020 06:11 WIB

Daya Beli Turun, Pusat Perbelanjaan Alami Kemunduran

Pelaku usaha sektor perdagangan sejak Maret hingga September belum peroleh stimulus

Rep: iit septyaningsih/ Red: Hiru Muhammad
Pengunjung beraktivitas di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta, Rabu (9/9/2020). Pihak pusat perbelanjaan diharapkan memperketat protokol kesehatan terhadap pengunjung dan karyawannya seiring meningkatnya kasus konfirmasi positif COVID-19 di masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) transisi di Jakarta. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memaparkan kondisi epidemiologis COVID-19 di wilayah DKI Jakarta selama sepekan terakhir tergolong mengkhawatirkan dengan angka positivity rate 13,2 persen.
Foto: Antara/Indrianto Eko Suwarso
Pengunjung beraktivitas di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta, Rabu (9/9/2020). Pihak pusat perbelanjaan diharapkan memperketat protokol kesehatan terhadap pengunjung dan karyawannya seiring meningkatnya kasus konfirmasi positif COVID-19 di masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) transisi di Jakarta. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memaparkan kondisi epidemiologis COVID-19 di wilayah DKI Jakarta selama sepekan terakhir tergolong mengkhawatirkan dengan angka positivity rate 13,2 persen.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Kondisi pusat belanja dan penyewa didalamnya saat ini mengalami kemunduran pendapatan secara signifikan. Hal ini terlihat dari daya beli masyarakat di ritel  pusat belanja yang jauh menurun. 

Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja menyatakan, banyak pelaku usaha tidak sanggup lagi menjalankan usahanya lagi. Itu akibat penurunan pendapatan karena daya beli yang minim, sehingga menimbulkan gelombang PHK cukup tinggi serta penurunan ekonomi. 

Seperti dinyatakan  pemerintah, kata dia, pada akhir September nanti Indonesia akan resmi dinyatakan mengalami resesi ekonomi. Para pelaku usaha dan khususnya Pusat Perbelanjaan Indonesia, telah merasakan resesi ekonomi sejak beberapa bulan terakhir.

Hal itu karena tingkat kunjungan ke Pusat  Perbelanjaan merosot tajam akibat pusat perbelanjaan tidak diperkenankan beroperasi  ataupun hanya diperkenankan beroperasi secara terbatas. “Pusat Perbelanjaan semakin bertambah buruk akibat daya beli masyarakat yang merosot sangat tajam. Awal bulan depan Pusat Perbelanjaan Indonesia harus memasuki masa resesi ekonomi dalam kondisi usaha yang sedang terpuruk," tutur Alphonzus dalam konferensi pers virtual, Senin (28/9).

Pelaku usaha di sektor perdagangan,  sangat menanti uluran pemerintah, sebab dari  awal Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada Maret hingga September 2020 belum mendapatkan stimulus atau subsidi apapun. "Apabila tidak mendapatkan uluran tangan dari pemerintah maka anggota  kami akan mulai bertumbangan, dimulai dengan penutupan gerai-gerai, dan pemutusan kerja karyawan secara massal. Hal ini tentu saja akan berdampak bukan hanya bagi karyawan yang di PHK namun bagi keluarganya juga," Jelasnya. 

Sektor pendukung ritel,  terdiri dari berbagai ekosistem dari hilir ke hulu. Mulai dari industri, produsen hingga jutaan UKM yang menjadi supplier maupun binaan ritel, vendor, pergudangan, logistik atau pengiriman, pusat perbelanjaan, dan lainnya. "Apabila sektor ritel terdampak maka ekosistem di dalamnya pun akan terdampak,” ujar ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budihardjo Iduansjah pada kesempatan serupa. Ia menjelaskan, segitiga ekosistem yang terdiri dari atas ke bawah yaitu Pusat Perbelanjaan, Ritel dan Penyewa, dan Karyawan. 

Apabila karyawan mendapat subsidi maka ritel dan penyewa akan terbantu, sehingga dapat tetap membuka lapangan kerja dan toko di pusat perbelanjaan dapat kembali buka. Hal ini dapat kembali menggerakkan perekonomian dan menjaga sektor konsumsi rumah tangga.

"Selama ini pusat perbelanjaan beserta tenant atau penyewa di dalamnya sudah menjalankan protokol Kesehatan dengan baik. Maka kami mohon agar semua kategori usaha yang ada di pusat perbelanjaan dapat dibuka semua termasuk arena permainan, bioskop, pusat kebugaran, restoran bisa melayani makan di tempat atau dine in, karena merupakan satu ekosistem di pusat perbelanjaan yang bila salah satu nya berkurang (misalnya restoran hanya bisa take away) maka berakibat matinya kategori usaha lain di dalam pusat perbelanjaan tersebut," tuturnya. 

Ia berharap, pergerakan ekonomi masih bisa berjalan. Hal itu dengan tetap mempertahankan kemampuan daya beli masyarakat, sehingga dapat memperbaiki pertumbuhan ekonomi segera. (Iit Septyaningsih) 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement