Selasa 29 Sep 2020 00:41 WIB

Perubahan Iklim Ancaman Kematian Setelah Pandemi

Perubahan iklim tetap menjadi ancaman terbesar bagi mata pencaharian, keamanan dan ke

Rep: Dwina Agustina/ Red: Agus Yulianto
Greenland
Foto: greenland.go
Greenland

REPUBLIKA.CO.ID, JOHANNESBURG -- Pandemi virus corona menjadi ancaman menakutkan yang telah membunuh 999 ribu jiwa di seluruh dunia. Hanya saja, ini bukan satu-satunya ancaman. Perubahan iklim kembali menjadi sorotan setelah Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa beberapa hari lalu. 

Siberia melaporkan mengalami suhu terhangat tahun ini dan bongkahan es yang sangat besar di Greenland dan Kanada luruh ke laut. Banyak negara pun sadar bahwa tidak ada vaksin untuk pemanasan global.

“Kami sudah melihat versi Armageddon lingkungan,” kata Perdana Menteri Fiji, Frank Bainimarama. 

Bainimarama memberi rujukan kepada kebakaran hutan di Amerika Serikat (AS) bagian barat dan mencatat bahwa bongkahan es Greenland lebih besar dari sejumlah negara kepulauan.

photo
Pemandangan salah satu sudut Kota Greenland - (Independent)

Tapi, virus corona telah mengalihkan sumber daya dan perhatian dari masalah besar pada pertemuan PBB ini. Sementara itu, pertemuan iklim global PBB telah ditunda hingga akhir 2021.

Meski Covid-19 mendominasi topik kepala negara dalam acara tersebut, negara-negara pulau yang perlahan-lahan tenggelam hingga Afrika mencoba tetap menyinggungnya. "Dalam 75 tahun lagi, banyak ... anggota mungkin tidak lagi memegang kursi di Perserikatan Bangsa-Bangsa jika dunia terus berada di jalurnya saat ini," kata Aliansi Negara-negara Pulau Kecil dan Kelompok Negara-Negara Terbelakang.

Tujuan utama kesepakatan iklim Paris 2015 adalah untuk membatasi kenaikan suhu global hingga 2 derajat Celcius di atas waktu pra-industri. Namun, para ilmuwan mengatakan, dunia berada di jalur yang tepat untuk melewatinya.

Sebuah studi baru menemukan bahwa jika dunia menghangat lagi 0,9 derajat Celcius, lapisan es Antartika Barat akan mencapai titik pencairan yang tidak dapat diubah. Ini membuat cukup air untuk menaikkan permukaan laut global hingga lima meter. 

Negara kepulauan Pasifik Palau tidak memiliki satu pun kasus infeksi Covid-19, tetapi Presiden Tommy E. Remengesau Jr. memperingatkan, bahwa naiknya air laut yang akan menurunkan negara itu. "Penurunan sesaat dalam emisi (karbon) tahun ini tidak dapat dibiarkan untuk membuat berpuas diri tentang kemajuan global,” katanya. 

Remengesau mencoba mengacu pada warna langit yang lebih cerah setelah penguncian untuk memperlambat penyebaran virus di seluruh dunia. Polusi telah merayap kembali seiring pelonggaran pembatasan. Dia pun menyoroti, kekuatan dunia tidak dapat mengabaikan komitmen mengalirkan dana untuk memerangi perubahan iklim selama pandemi, bahkan ketika ekonomi terpukul. 

Hanya saja, sedikit janji tentang tindakan memahan perubahan iklim yang muncul pada pertemuan PBB itu. Untuk menarik perhatian, negara pulau telah memanfaatkan pertemuan virtual untuk memamerkan kondisi yang sedang dipertaruhkan.

Perdana Menteri Tuvalu, Kausea Natano, menyampaikan pidatonya dengan pemandangan perairan biru kehijauan dan daun-daun bergoyang yang langsung memicu imajinasi pemirsa yang tinggal di rumah. Meski Tuvalu bebas dari virus korona, negara kepulauan itu berhadapan dengan siklon tropis, badai yang menurut para ilmuwan kemungkinan akan menjadi lebih basah saat planet memanas.

Titik tertinggi Tuvalu hanya beberapa meter di atas permukaan laut. Natano menyinggung efek pandemi pada pergerakan barang menjadi terancam sehingga terjadi kerawanan pangan. Padahal, kondisi pertanian lokal menjadi lebih sulit dengan naiknya permukaan laut. 

“Sementara Covid-19 adalah krisis langsung kami, perubahan iklim tetap menjadi ancaman terbesar bagi mata pencaharian, keamanan dan kesejahteraan Pasifik dan rakyatnya dalam jangka panjang,” kata Natano. 

Permohonan mendesak juga datang dari Afrika, yang berkontribusi paling sedikit terhadap pemanasan global tetapi paling menderita karenanya. “Dalam mendukung solusi berdasarkan penghormatan terhadap alam, kami juga menjaga kesehatan masyarakat kami,” kata Presiden Nigeri, Issoufou Mahamadou, menyinggung wilayah bagian dari Sahel di selatan gurun Sahara ini mengalami kenaikan suhu dengan perkiraan 1,5 kali lebih tinggi dari rata-rata dunia. 

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement