Senin 28 Sep 2020 16:43 WIB

Memilih Calon Kepala Daerah Pro-Reformasi Birokrasi

Pemilihan kepada daerah harus menjadi momentum perbaikan pelayanan publik.

Riko Noviantoro, Peneliti Kebijakan Publik Institute for Development of Policy and Local Partnership (IDP-LP).
Foto: dok pri
Riko Noviantoro, Peneliti Kebijakan Publik Institute for Development of Policy and Local Partnership (IDP-LP).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Riko Noviantoro (Peneliti Kebijakan Publik IDPLP)

Agenda strategis nasional yang sampai saat ini tersendat-sendat dalam pelaksanannya adalah program reformasi birokrasi. Program bernafas kemuliaan ini nyaris hilang dari sorotan publik. Jika pun hadir sebatas retorika dan janji manis pejabat publik. 

Iktikad politik pemerintah mendorong program reformasi birokrasi, sesungguhnya sudah cukup besar. Semangat itu terlihat dari penggunaan sebutan reformasi birokrasi pada kementerian pendayagunaan aparatur negara pada awal pemerintahan periode 2009-2014, yang memberi semangat baru penataan birokrasi.

Kemudian pemerintah pun menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi (GDRB) 2010 -2025. Kebijakan ini memberikan panduan reformasi birorkasi lebih terlihat operasional. Selanjutnya pemerintah pun membuat tahapan reformasi birokrasi secara baik.

Sebagaimana diketahui program reformasi birokrasi diterjemahkan dalam tiga fase, yakni reformasi birokrasi 2010-2014 yang dikenal sebagai fase ke-1, reformasi birokrasi 2015-2019 fase ke-2 dan reformasi birokrasi tahun 2020-2025 sebagai fase ke-3. Sayangnya pada evaluasi fase 1 dan fase 2 masih belum optimal. 

Kini reformasi birokrasi masuk fase ke-3, yaitu 2020-2025. Di mana pada fase ini menjadi penyimpul program reformasi birokrasi sejak dituangkan dalam Perpres. Harapannya tentu lebih baik dari fase-fase sebelumnya. Apalagi pada tahun ini momentum pemilihan kepala daerah serentak kembali bergulir. Menjadi cukup tepat menghembuskan agenda pilkada ini dengan penguatan fase 3 reformasi birokrasi.

Reformasi Birokrasi dan Lompatan Kemajuan

Peran birokrasi memperkuat kemajuan sebuah negara bukanlah barang baru. Banyak kisah dari negara yang sukses melakukan perubahan birokrasi berbuah kemajuan negaranya, antara lain; Singapura, Korea Selatan, Vietnam, Taiwan dan Jepang.

Dalam banyak catatan Singapura pada 1953 juga merupakan negara miskin. Memiliki jumlah penduduk berpenghasilan rendah sangat banyak. Berbagai layanan publiknya pun buruk. Namun melalui perubahan semangat birokrasi, semua hal tersebut berubah total. Hanya sekitar 20 tahun lebih, Singapura berhasil keluar dari status negara terbelakang. Menjadi negara maju dan modern hingga kini. 

Korea Selatan tidak jauh berbeda kisahnya. Negara yang terpuruk akibat perang ini pun melakukan lompatan melalui perubahan birokrasinya. Pada tahun 1960 an Korea Selatan juga masuk dalam negara terbelakang. Kemiskinan penduduknya memprihatinkan. Pelayanan publiknya mengecewakan. Namun berhasil keluar dengan penataan birokrasi yang efektif.

Jepang sebagai negara yang sempat hancur dalam perang dunia II, melakukan pembenahan pada layanan publiknya. Kaisar Jepang pada masa itu mendorong apartur sipilnya untuk memberikan pelayana optimalnya. Perampingan birorkasi diwujudkan melalui pemangkasan jabatan. Praktik reformasi birokrasi juga memanfaatkan karakter budaya masyarakatnya seperti bekerja keras dan komitmen pada perbaikan. Hasilnya Jepang berhasil melaju, meski porak poranda setelah bom atom.

Vietnam dan Taiwan pun melakukan hal serupa. Keberhasilan dalam penataan birokrasi mendongkrak kemajuan negara. Ditandai pada pertumbuhan ekonomi yang bergerak naik. Sehingga penduduknya pun perlahan mengalami kesejahteraan. Kesimpulannya keberhasilan reformasi birorkasi dimulai komitmen pemimpin dan konsep reformasi birokrasi yang operasional.

 

Pilkada Serentak Momentum Reformasi Birokrasi

Belajar dari kisah di negara tetangga di atas, rasanya menjadi cukup beralasan meyakini prosesi pemilihan kepada daerah sebagai momentum perbaikan pelayanan publik. Khususnya mendorong program reformasi birokrasi yang sudah digaungkan sejak 2010.

Apalagi hajat demokrasi lokal tahun ini berlangsung di 270 daerah. Terdiri dari 9 daerah tingkat provinsi, 224 daerah tingkat kabupaten dan 37 daerah tingkat kota. Menjadi sangat strategis mendorong reformasi birokrasi kembali berjalan sesuai harapan. Terlebih tahun ini menjadi fase ke-3 pelaksanaan reformasi birokrasi.

Cukup beralasan pula reformasi birokrasi akan berpeluang berhasil, jika 270 kepala daerah terpilih pada pilkada serentak 2020 memiliki komitmen sama, sebagaimana tujuan reformasi birokasi. Dalam Perpres No.80 tahun 2010 menyebutkan reformasi birokrasi bertujuan menciptakan birokrasi pemerintah yang profesional dengan karakteristik, berintegrasi, berkinerja tinggi, bebas dan bersih KKN, mampu melayani publik, netral, sejahtera, berdedikasi, dan memegang teguh nilai-nilai dasar dan kode etik aparatur negara.

Pertanyaannya apakah 270 calon kepala daerah itu punya komitmen pada reformasi birokrasi? Jika benar berkomitmen, apa program mewujudkan reformasi birorkasi itu? Bagaimana menerapkannya? Sayangnya, belum banyak terdengar para calon kepala daerah memiliki konsep reformasi birokrasi di daerahnya. Jika pun ada sebatas kampanye dan janji politik.

Bukan tanpa alasan menuding hal tersebut. Laporan Ombudsman 2019 dapat memperlihat para kepala daerah yang terpilih pada pilkada sebelumnya, sesungguhnya tidak komitmen pada reformasi birorkasi. Buktinya pengaduan atau laporan masyarakat terkait buruknya pelayan publik di tahun 2019 mencapai 11.087 aduan. Jumlah itu meningkat dari tahun 2018 yang mencapai 10.985 aduan. Pada laporan itu pemerintah daerah menjadi terlapor yang banyak diadukan masyarakat berkaitan dengan pelayanan publik sebanyak 41,03 persen, selebihnya adalah instansi pemerintahan vertikal yang dilaporkan.

Dari sekelumit data Ombudsman tersebut sudah memberi gambaran bahwa komitmen kepala daerah memberikan layanan publik yang baik masih mengecewakan. Padahal layanan publik menjadi satu dari sekian banyak agenda dalam reformasi birokrasi. Masih terdapat sejumlah agenda lain dalam reforamsi birokrasi. Artinya semakin jelas reformasi birokrasi bisa juga kembali jalan ditempat, selagi pilkada serentak ini hanya dimaknai sebagai prosedur pergantian pemimpin daerah semata.

Hal inilah yang perlu menjadi kewaspadaan bersama. Masyarakat harus diajak memilih kepala daerah yang memiliki komitmen penuh pada program reformasi birokrasi. Jangan biarkan calon kepala daerah terpilih, namun miskin komitmen pada reformasi birokrasi. Karena dari kepala daerah itulah 270 daerah akan berhasil meraih kemajuan. Kemudian secara langsung pula mendorong kemajuan negara Indonesia, sebagaimana kisah-kisah pada negara lain. Semoga.

 

 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement