Ahad 27 Sep 2020 14:09 WIB

Sarung dan Kupluk Pun Pernah Dicap Komunis

Sarung dan kupluk pernah diasosiasikan sebagai simbol komunis.

Pekerja melipat kain tenun yang dibuat menggunakan teknik Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) di Pekalongan, Jawa Tengah, Kamis (1/6). Kain tenun yang dibuat untuk bahan sarung tersebut dijual Rp9000-Rp70.000 per meter dan dipasarkan hingga ke Pulau Sumatra.
Foto:

Sebelum mengenal sebutan koplook, sepertinya orang Belanda menyebut kupluk yang dipakai para pemuda komunis itu sebagai topi Padang. Dari koplook (hiasan kepala) kita mengambilnya menjadi kupluk. Orang Belanda juga menyebutnya sebagai petje (topi kecil) yang kemudian kita ambil menjadi peci.

De Locomotief edisi 12 Januari 1927 melaporkan adanya anak sekolah di sekitar Malang yang dipukul polisi karena mengenakan topi Padang itu. Para pemuda yang melakukan konferensi di Jawa Tengah juga diimbau tidak memakai sarung dan kupluk.

Setelah kerusuhan yang dilakukan komunis 19 November 1926, di Semarang diberlakukan jam malam. Pos-pos militer disiagakan untuk memberikan peringatan. Warga sipil dilarang mendekati area yang ada pos-pos militer itu.

Ini kejadian sekitar pukul 03.30 pada 20 November 1926 di dekat gudang garam setelah kerusuhan di Semarang. Ada orang yang bangun dari tidur, kerubutan sarung berjalan ke arah pos. De Indische Courant 23 November 1926 melaporkan, peringatan tak digubris, penjaga lalu menyerangnya dan menghantam dada kirinya hingga terluka parah. Baru ketahuan esok siangnya bahwa orang itu adalah kuli gudang garam dekat pos militer.

Di Surabaya, gara-gara kupluk dua kuli meninggal dunia. Seorang kuli mencuri kupluk kuli yang sedang tidur. Saat kupluk diambil, si pemilik terbangun dan menangkapnya lalu lapor ke polisi bersama petugas. Di tengah perjalanan malam itu kuli pencuri mencoba kabur dengan menceburkan diri ke Kali Mas. Kuli pemilik kupluk menyusulnya.

De Locomotief edisi 13 November 1937 melaporkan, setelah keduanya tak muncul-muncul, alat pengeruk pun dikerahkan. Terangkat kuli pencuri sudah meninggal. Kuli pemilik kupluk baru ditemukan esok harinya di tempat lain di Kali Mas, juga sudah meninggal.

Setelah kemerdekaan, orang Belanda pun masih alergi dengan kupluk. Menurut Het Nieuwsblad voor Sumatra edisi 10 Januari 1951, ada 280 orang Jawa pelayan kapal Oranje milik Belanda sejak pagi mendesak diizinkan mengganti ikat kepala ataupun blangkon dengan kupluk.

Kuli pelabuhan yang sudah memakai kupluk mendukung mereka. Satu per satu mereka dipanggil diminta menaati aturan pemakaian blangkon/ikat kepala, tetapi mereka tetap ingin memakai kupluk.

Karena tuntutan ini, kapal Oranje meninggalkan Pelabuhan Tanjung Priok sore hari, terlambat empat jam dari jadwal pukul 11.00, tanpa para pelayan. Barang-barang milik para pelayan pun diturunkan dari kapal.

Di atas kapal, Kapten Oranje Hemmes mengumumkan tak ada layanan kabin. Kopi atau teh, misalnya, harus dipesan sendiri oleh penumpang di bar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement