Ahad 27 Sep 2020 08:16 WIB
Cerita di Balik Berita

Negara, Istana, dan Wartawan: Disemprot PM Singapura

Ada perbedaan saat mewawancara SBY, PM Singapura atau PM Inggris.

Jurnalis Republika, Arys Hilman Nugraha
Foto:

Ketika berkunjung ke Australia pada 2010, Presiden SBY membetot perhatian luas dari pers setempat. Ia memperoleh anugerah dari gubernur jenderal dan mendapatkan kesempatan langka berpidato di muka parlemen—hanya SBY, Presiden AS Bill Clinton dan George W Bush, Tony Blair, PM Kanada Stephen Harper, serta Presiden Tiongkok Hu Jin Tao yang pernah mendapatkan kesempatan itu.

Tuan rumah, sebaliknya, justru mendapatkan ledekan dari persnya. Misalnya, terkait hadiah gitar untuk SBY, Rudd justru disindir karena ia sendiri tak bisa memainkannya apalagi mencipta lagu.

Namun, bukan berarti pers Australia kehilangan kejahilan. Meski tak terkait langsung dengan hubungan kedua negara, mereka dengan iseng membahas hadiah kopi luwak dari SBY untuk Rudd. "Dung diplomacy," tulis mereka--yang terus terang enggan saya terjemahkan di sini. Jenis kopi paling mahal di dunia itu mengandung rasa khas karena lahir melalui proses pencernaan binatang luwak atau musang. Pers Australia juga menulis kopi hadiah itu seharusnya melalui karantina sebelum dapat hadir di cangkir perdana menteri—dan itulah yang terjadi.

Pers Australia masuk dalam deretan papan atas indeks kebebasan pers dunia, bahkan melampaui pers Amerika Serikat. Tapi tak selalu mereka menerapkan standar jurnalistik yang ketat saat membahas Indonesia. Turun berita dan seru duluan, cover both side dan check and recheck urusan belakangan.

Di kantor salah satu korannya Murdoch di Sydney, saya bertemu dengan editor luar negeri yang tak pernah menginjakkan kaki ke Indonesia. "Lucu, dia tak pernah ke Indonesia, tapi selalu menulis soal Indonesia," kata staf Kementerian Luar Negeri Australia yang mengantar saya. Bagi orang Australia, hal itu termasuk aneh, karena walaupun tak pernah ke Jakarta, mereka "seharusnya" pernah menginjakkan kaki di Bali.

Walaupun termasuk baik, indeks kebebasan pers Australia tak ada apa-apanya dibandingkan negara-negara Skandinavia.  Pers Swedia, misalnya, selalu berada pada deretan 10 besar terbaik di dunia. Entah punya hubungan kausalitas atau tidak, situasi itu sejalan dengan tingkat "kebebasan" kepala pemerintahan dan kepala negaranya.

Di Gutenburg pada 2008, saya bertemu dengan Raja Swedia Carl XVI Gustaf di sebuah pameran. Saya kira ia hadir dengan serombongan "paspampres". Ternyata, ia jalan-jalan begitu saja tanpa kawalan. Belakangan baru saya ingat, seorang perdana menteri pun biasa naik angkutan umum atau jalan-jalan ke mal sendirian di negeri itu.

photo
Raja Carl XVI Gustaf dan Ratu Silvia dari Swedia.

Situasi itu kontras dengan pengalaman saat saya bertemu dua anak Presiden SBY di sebuah mal di Abu Dhabi. Sebagai rakyat yang ramah, saya menyapa mereka dan mengajak bersalaman. Mereka pun meladeni obrolan saya dengan baik beberapa saat, sampai saya memutuskan menarik diri untuk memberi mereka kesempatan berbelanja.

Baru beberapa langkah saya menjauh dari kedua anak presiden, seorang pengawal menghampiri saya. "Anda siapa?" katanya. Pertanyaan itu, entah kenapa, saya rasakan sangat mirip dengan teguran agar saya tidak sembarangan berbincang dengan keluarga istana.

*Tulisan ini dimuat di buku Jurnalis, Jurnalisme, dan Saya (2010)

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement