Ahad 27 Sep 2020 08:16 WIB
Cerita di Balik Berita

Negara, Istana, dan Wartawan: Disemprot PM Singapura

Ada perbedaan saat mewawancara SBY, PM Singapura atau PM Inggris.

Jurnalis Republika, Arys Hilman Nugraha
Foto:

Situasi serupa saya temui di Kuala Lumpur. Pertumbuhan ekonomi menyita perhatian masyarakat Malaysia. Banyak pula hal tabu dalam politik. Namun, mereka tak sepenuhnya melepaskan perhatian dari politik. Andai ada isu politik besar, pers Malaysia akan mengambil posisi pada sisi pemerintah dan masyarakat dapat mengandalkan blog di internet untuk menyuarakan perbedaan. Lain dengan Singapura, rakyat Malaysia masih menunjukkan upaya katarsisnya atas tekanan politik melalui blog, sementara Singapura tak memiliki situs web politik yang signifikan.

Dalam pertemuan dengan PM Abdullah Badawi di Putrajaya, saya merasakan sedikit kebebasan dibandingkan saat bertemu PM Lee. Namun, nilai-nilai ketimuran masih mencegah saya memotret saat ia terbatuk-batuk dengan raut muka memerah dan napas kepayahan. Rasanya tak sopan mengambil gambar kepala pemerintahan dalam wajah seperti itu. Apakah standar etik demikian ada pada wartawan libertarian? Saya tak tahu.

photo
Abdullah Badawi - (Darmawan/Republika)

Setahun sebelumnya, saya pernah mewawancarai PM Abdullah Badawi di sebuah hotel berbintang lima di Jakarta. Sebelum wawancara, staf perdana menteri menyebut sejumlah hal yang tidak boleh ditanyakan, isu-isu sensitif terkait hubungan Jakarta-Kuala Lumpur. Di Indonesia, larangan seperti ini lazim terjadi pada era Orde Baru, tetapi masih sempat saya temukan ketika mengikuti kunjungan Presiden SBY ke Timur Tengah pada periode pertama pemerintahannya.

Kebebasan pers Malaysia, walaupun lebih baik dari Singapura, lebih buruk dari Indonesia. Seorang kolega di sana bercerita, koran Malaysia setiap tahun harus memperpanjang lisensi, semacam SIUPP pada era Orde Baru di Indonesia. Lisensi harus diurus mulai September dan baru keluar sekitar Maret tahun berikutnya.

"Jadi kami harus berbaik-baik kepada pemerintah sepanjang waktu itu," katanya. Lisensi adalah ciri khas pers otoritarian dalam teori Siebert dan kawan-kawan, walaupun Malaysia memiliki pula ciri-ciri libertarian ekonomi seperti Singapura.

Sebagai wartawan dari negeri yang lebih miskin, saya kemudian menemukan kata-kata yang agak bernada sombong saat harus memaparkan kesan-kesan tentang pers negara itu. Saya sampaikan kepada lembaga think tank pemerintah Malaysia tuan rumah kunjungan saat itu, "Saya senang melihat pers Malaysia yang makmur, tapi saya tidak yakin akan betah di sini karena kurangnya kesejahteraan ruhani berupa kebebasan pers."

Belagu! Sudah miskin, sombong pula! Bisa jadi itu pikiran tuan rumah. Tapi, cuma itu memang yang bisa dibanggakan. Soal kemakmuran, pers Malaysia tak diragukan. Seorang kolega setingkat editor di sana biasa berlibur ke Australia dan Inggris, hal yang sulit dilakukan seorang redaktur pers di Indonesia mengingat tingkat gajinya yang rendah.

Soal kebebasan pers di negeri sendiri, sebenarnya juga tidak bagus-bagus amat. Setelah sempat menduduki peringkat 50-an pada masa awal reformasi, indeks kebebasan pers di Indonesia terus melorot. Sekarang bahkan sudah terlempar dari 100 besar. Catatan hitam terutama datang melalui tangan masyarakat, lewat sejumlah kasus intervensi hingga pembunuhan wartawan.

photo
Presiden ke-6 Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menciptakan lagu berjudul Cahaya dalam Kegelapan. - (Instagram)

Namun, saat berhadapan dengan pemerintah dan pihak-pihak lain dalam struktur kenegaraan, pers Indonesia masihlah memiliki daya. Tidak ada pencabutan SIUPP, surat teguran, atau telepon dari militer seperti di era Orde Baru.

Presiden pun sulit mengelak dari pers. Paling-paling ia hanya bisa curhat kalau tidak suka berita media massa. Sampai-sampai, sekelompok wartawan Australia yang saya temui dalam Senior Editors’ Meeting di Sydney pada 2010 bertanya-tanya, "Mengapa pers Indonesia begitu galak kepada Presiden SBY?"

Walaupun sangat kritis terhadap Indonesia, pers Australia menilai SBY sebagai presiden yang baik dan pers Indonesia "jahat" karena selalu menyerangnya. Menghadapi pertanyaan seperti itu, jawaban saya saat itu adalah, "Sikap pers Indonesia kepada Presiden SBY sama seperti sikap pers Australia kepada PM Kevin Rudd." Rudd punya citra positif di mata pers Indonesia, tetapi di negeri sendiri ia selalu menjadi sasaran kritik pers Australia.

Bagi saya, pembawaan SBY yang sangat-sangat formal di dalam negeri tidak menolongnya saat berhadapan dengan isu-isu panas. Saya pernah mewawancarainya di Cikeas. Saya tidak memiliki masalah personal apa pun dengannya. Namun, saya merasakan suasana saat itu tidak lebih baik dibandingkan saat saya mewawancarai PM Inggris Tony Blair yang kebijakannya soal Irak dan Afghanistan saya maki-maki.

photo
Tony Blair - (EPA/Duc Thanh)

Wawancara dengan PM Blair di rumah dubes Inggris di Jakarta amat singkat, tak sampai 10 menit. Karakter Blair yang bersemangat membuat suasana cair dan akrab, termasuk saat ia bercerita soal anaknya. Tak ada pertanyaan yang tak ia jawab. Ia pun tak tampak keberatan ketika saya bertanya, "Kapan Anda berani bilang ‘tidak’ kepada Amerika?" Pertanyaan semacam itu bukan hal istimewa di Inggris yang peringkat indeks kebebasan persnya berada pada kisaran 20, di atas Australia dan Amerika Serikat.

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement