Sabtu 26 Sep 2020 12:00 WIB

Kejujuran Syekh Abdul Qadir Al Jailani

Syekh Abdul Qadir Al Jailani dikenal karena kejujurannya.

Rep: Syahruddin El Fikri/ Red: Muhammad Hafil
Kejujuran Syekh Abdul Qadir Al Jailani. Foto: Sheikh Abdul Qadir Jailani
Foto: IST
Kejujuran Syekh Abdul Qadir Al Jailani. Foto: Sheikh Abdul Qadir Jailani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ada sebuah cerita mengenai kejujuran al-Jailani. Disebutkan bahwa watak tersebut sebagai buah pendidikan orang tuanya sekaligus sebagai rasa tanggung jawab untuk berbakti kepada orang tuanya, terutama ibunya. Ibunya berpesan agar ia selalu berkata jujur.

Diceritakan bahwa ketika berangkat ke Baghdad guna menuntut ilmu, kafilah yang membawanya dihadang perampok. Ketika diminta oleh para perampok itu, dengan jujur ia mengatakan bahwa ia membawa uang emas yang disimpan di kantong bajunya. Ketulusan dan kepolosannya itu membuat para perampok ini kaget karena jarang ada orang yang akan dirampok mengatakan yang sebenarnya. Singkat cerita, para perampok ini akhirnya menjadi murid-muridnya.

Setibanya di Baghdad, al-Jailani tidak langsung memasuki gerbang kota, namun memilih tinggal di gurun pasir di luar Kota Baghdad pada sebuah kastil (reruntuhan istana raja-raja kuno Persia) di daerah Karkh untuk melakukan khalwat.

Menurut beberapa riwayat, hal ini dilakukan atas petunjuk nabi atau guru spiritual, Nabi Khidhir. Selama masa khalwatnya, ia selalu dikunjungi Nabi Khidhir untuk memberikan pendidikan dan bimbingan. Setelah beberapa tahun, baru al-Jailani memasuki Kota Baghdad untuk menuntut ilmu.

Guru-guru Syekh Abdul Qadir al-Jailani dalam bidang tahfiz Alquran dan tafsir adalah Syekh Ali Abu al-Wafa al-Qail. Dalam bidang fikih, tercatat nama Syekh Abi al-Wafa' Ali bin 'Aqil (Ibn 'Aqil), Syekh Abi al-Khaththab al-Kalwadzani Mahfudz bin Ahmad al-Jalil. Dalam bidang sastra dan bahasa Arab, ada nama Abi al-Husain Muhammad bin Al-Qadli Abi Ya'la.

Di Baghdad, dia berniat masuk di perguruan Nizhamiyyah yang waktu itu merupakan perguruan tinggi prestisius. Namun, dia ditolak oleh Ahmad al-Ghazali--yang menggantikan posisi Abu Hamid al-Ghazali--karena perbedaan mazhab yang dianut. Maka, dia mengikuti semacam kursus fikih Mazhab Hambali di Madrasah Babul 'Ajl yang dipimpin oleh Abu Sa'id al-Mukharrimi.

Penolakan Ahmad al-Ghazali terhadap Al-Jailani untuk menuntut ilmu di perguruan Nizhamiyah membawa hikmah baginya. Sebab, hal ini makin membuatnya banyak bertafakur dan berkhalwat. Ia berhasil mengombinasikan antara hukum-hukum legal objektif keagamaan (dalam hal ini fikih) dan kondisi kegembiraan jiwa pribadi luar biasa, yakni aspek spiritual-tasawuf yang merupakan pengalaman keagamaan subjektif (combines religion of the law with ecstatic individualism).

Menruut GE Von Grunebaum dalam Classical Islam: A History 600-1258 (Chicago, 1970), Al-Jailani terus menjaga kedudukannya sebagai orang yang suci. Selain itu, Al-Jailani-lah yang pertama kali memegang posisi sebagai pemadu syariah dan tarekat sehingga menjadi harmonis dalam tataran aplikatif.

Inilah yang membedakannya dengan al-Ghazali yang dipandang para pengamat sebagai pemadu syariat dan tarekat, namun hanya secara teoritis, maka al-Jailani yang kemudian mewujudkannya.

Imam al-Ghazali, setelah mengalami transformasi spiritualnya, mencoba melaraskan ajaran dan spiritualisme Islam. Tetapi, karena ia lebih sebagai seorang ilmuwan daripada pemikir kerohanian, ia terbatas pada ajaran dan aturan, bukan penerapan spiritualisme.

Maka, Julian Baldick (Mystical Islam: An Introduction to Sufism, London, 2000) menyebut, al-Jailani sebagai seorang sufi yang selalu menghindari teoretisasi yang abstrak sebagaimana terdapat dalam karya-karya al-Ghazali dan penulis sufi lainnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement