Jumat 25 Sep 2020 14:31 WIB

Libya dan Intervensi Asing, Akhir Seperti Irak-Afghanistan?

Libya menghadapi kompleksitas intervensi asing dan intrik internal.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Nashih Nashrullah
Libya menghadapi kompleksitas intervensi asing dan intrik internal. Ilustrasi tentara Libya.  Ilustrasi Pusat penahanan migran di Tajoura, di timur Tripoli, Libya hancur karena serangan udara, Rabu (3/7).
Foto: AP Photo/Hazem Ahmed
Libya menghadapi kompleksitas intervensi asing dan intrik internal. Ilustrasi tentara Libya. Ilustrasi Pusat penahanan migran di Tajoura, di timur Tripoli, Libya hancur karena serangan udara, Rabu (3/7).

REPUBLIKA.CO.ID, Libya merepresentasikan negara konflik di Timur Tengah dimana mengalami konflik internal dan intervensi asing. Turki dan Mesir dianggap memperparah konflik di sana. Konflik Libya diduga sulit menemui jalan damai dalam waktu dekat. 

Pengamat Timur Tengah Universitas Western Australia, Amin Saikal, menyebut konflik di Libya sama halnya yang terjadi di Afghanistan, Suriah dan Yaman. Faktor konfliknya diperparah perebutan kekayaan sumber daya minyak dan perpecahan suku. Kombinasi konflik internal plus intervensi asing tak terarah adalah resep menuju konflik tak berkesudahan.

Baca Juga

Saikal mengutip mantan Menhan Amerika Serikat Robert Gates yang menyebut Amerika Serikat mampu menggulingkan kekuasaan. Namun Amerika Serikat tak tahu apa yang mesti dilakukan ketika berhasil melakukannya. Contoh kasusnya ialah invasi Afghanistan (2001) dan Irak (2003). Kala itu, Gates menyebut Amerika Serikat gagal mempertimbangkan kompleksitas nasional dan regional.  

"Kondisi serupa terjadi dalam intervensi (invasi) NATO pada 2011 di Libya," kata Saikal dalam tulisannya dilansir di Qantara pada Jumat (25/9). 

Krisis Libya punya masalah dari segi internal dan eksternal. Kepemimpinan Muammar al-Gaddafi digulingkan pada 2011 dalam gerakan yang populer disebut Arab Spring. Qadafi  tumbang oleh kekuatan yang dipelopori Amerika Serikat bersama negara sakson dan Prancis. Intervensi asing ini disetujui Dewan Keamanan PBB sebagai upaya melindungi rakyat Libya. 

Sayangnya baik kekuatan pemberontak dan asing tak mampu memperbaiki Libya pasca menumbangkan Qadafi . Libya terlanjur jatuh dalam lubang perpecahan tak berujung. Faksi revolusioner tak punya agenda bersatu selain ketika mengakhiri rezim Qadafi .  

Sedangkan intervensi asing kekurangan strategi menjamin stabilisasi tatanan baru di Libya. Intervensi asing juga dianggap menganggap remeh kekuatan kesukuan di Libya sekaligus posisi strategisnya di Afrika Utara-Mediterania. 

"Kekuatan asing tampaknya lebih fokus melindungi cadangan minyak Libya ketimbang melindungi masyarakatnya untuk kembali bersatu dan membangun tata pemerintahan yang baik," ujar Saikal. 

Pekan ini, pemimpin Prancis, Italia dan Jerman mengeluarkan sikap bersama isinya menyatakan Libya menghadapi peningkatan eskalasi regional dan meminta semua intervensi asing dihentikan. Diharapkan juga semua pihak menghormati putusan PBB soal embargo senjata di Libya. Sekjen PBB

Antonio Guterres sebelumnya memperingati campur tangan asing dalam konflik Libya mencapa level yang berlebihan.   

Sejak 2015, dua faksi besar terkunci dalam perebutan kekuasaan sarat darah di Libya. Pertama, Pemerintahan Kesepakatan Nasional (GNA) berbasis di Tripoli mendapat dukungan PBB. Kedua, Tentara Nasional Libya (LNA) yang dipimpin Jenderal Khalifa Haftar. Kedua kubu tenggelam dalam konflik yang menimbulkan korban jiwa dan memperburuk ekonomi.  

Disebutkan bahwa Turki, Qatar, dan Italia mendukung GNA. Sedangkan Mesir, Uni Emirat Arab, Rusia, Prancis, dan Arab Saudi mendukung LNA.  

"Adapun Amerika tak jelas berpihak pada kubu yang mana walau Presiden Donald Trump lebih condong pada Haftar," sebut Saikal.

Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi pernah memperingatkan Turki dan sekutunya agar tak menduduki kota strategis Sirte yang mana dikontrol LNA. Walau Turki dan Mesir kecil kemungkinan memilih opsi perang terbuka mengingat masalah domestik masing-masing.  

Hingga saat ini, tidak ada konsensus nasional, regional dan internasional mengenai Libya. Walau pernah diadakan pembicaraan damai di Jenewa, Swiss yang disponsori PBB. Kesemua saluran komunikasi itu belum membuahkan hasil konkret. 

Alhasil, Libya terjebak dalam posisi skakmat. Libya tak bisa bergerak maju usai penggulingan Qadafi  karena masalah dalam negerinya tak kunjung usai. Kondisi ini membuat Libya berada dalam ketidakstabilan jangka panjang.  

"Kecil kemungkinan kondisi Libya dapat kembali normal dalam waktu dekat ini untuk menyediakan harapan bagi rakyatnya yang menderita," ucap Saikal. 

Saikal menyarankan agar semua kekuatan asing mundur secepatnya dari Libya. Rakyat Libya punya hak menentukan sendiri masa depannya. 

"Walau sayangnya, sumberdaya minyak Libya dan posisi strategisnya menjadi daya tarik bagi intervensi asing sekaligus kutukan bagi warganya," tutup Saikal.

Sumber: https://en.qantara.de/content/libyas-double-tragedy-how-domestic-conflict-and-misguided-intervention-have-destabilised 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement