Jumat 25 Sep 2020 11:24 WIB

Lupa Daratan

Allah SWT menjelaskan jati diri kita di dalam Alquran kita bukanlah siapa-siapa

Mendaki Gunung
Foto: Pixabay
Mendaki Gunung

REPUBLIKA.CO.ID, Sepuluh tahun ke belakang, ilmu pengetahuan telah membawa manusia menemukan teknologi yang begitu maju. Manusia bahkan bisa mengedit materi genetik makhluk hidup termasuk manusia itu sendiri. Dengan demikian, kita bisa mendapatkan keturunan dengan sifat-sifat yang diinginkan, hasil panen melimpah atau warna bulu binatang yang disukai. Belum lagi keajaiban lain seperti kecerdasan buatan (artificial intelegent), hingga proyek komersial untuk traveling ke luar angkasa. Semua yang ada dalam film fiksi ilmiah sudah ada di depan mata. 

Pada 2015, Yuval Noah Harari, menerbitkan buku //best seller Homo Deus: Masa Depan Umat Manusia//. Dalam buku itu, dia menjelaskan, manusia sedang dalam fase menuju kepada kehidupan ilahiyah. Manusia telah memenangkan pertempuran melawan segalanya. Tidak terkecuali melawan wabah. Menurut penulis berkebangsaan Israel itu, ada sejumlah alasan untuk berpikir jika dokter akan memenangkan perlombaan melawan kuman. 

 Banyak penyakit menular baru muncul sebagai akibat dari kemungkinan mutasi dalam genom. Mutasi-mutasi ini memungkinkan penyakit melompat dari binatang ke manusia. Dia akan menaklukkan kekebalan sistem manusia sehingga resisten pada obat seperti antibiotik. Meski menulis jika mutasi-mutasi itu terjadi lebih cepat, Yuval menjelaskan, kuman-kuman itu bergantung pada ‘undian nasib’ dalam pertarungan melawan teknologi kedokteran. 

Menurut Yuval, para dokter mengandalkan lebih dari sekadar keberuntungan. Mereka bahkan diprediksi akan mampu mengatasi kuman-kuman dengan cara lebih efisien tinimbang sekarang. Meskipun, kuman-kuman yang dihadapi juga akan lebih tangkas karena proses mutasi. Adanya wabah yang membunuh jutaan manusia dinilai bukan sebagai bencana alam yang tak terelakkan. Tetapi bentuk kegagalan manusiawi yang harus dimintakan pertanggungjawaban semua pihak. Karena itu, Yuval mengungkap jika manusia sedang meniti langkah menuju ke keabadian.  

 

Lima tahun setelah buku yang berjudul Manusia Dewa—dalam bahasa Indonesia—itu terbit, kita menghadapi korona. Makhluk mikro yang sudah membunuh hampir satu juta manusia itu kini amat dekat dengan kita. Keagungan manusia tampak lemah tanpa terkecuali. Negara adidaya pun memimpin perolehan jumlah kasus positif sementara. Lantas, masih berhakkah manusia disebut sebagai Homo Deus?  

 
 

Bukankah telah datang kepada manusia satu waktu dari masa, di mana ketika itu mereka belum menjadi sesuatu yang dapat disebut?” (QS al-Insan: 1). 

 

Siapakah manusia itu? Allah SWT menjelaskan jati diri kita di dalam Alquran bahwa kita bukanlah siapa-siapa. “Bukankah telah datang kepada manusia satu waktu dari masa, di mana ketika itu mereka belum menjadi sesuatu yang dapat disebut?” (QS al-Insan: 1). 

Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan, dalam ayat ini, Allah SWT menceritakan keadaan manusia. Dia telah menciptakannya dan mengadakannya ke alam wujud ini. Padahal, sebelumnya dia bukanlah merupakan sesuatu yang disebut-sebut karena terlalu hina dan sangat lemah—hanya berasal dari gabungan mani—seperti ayat yang difirmankan selanjutnya.

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.” (QS al-Insan: 2-3). 

Allah Ta’ala dengan kuasa-Nya menciptakan makhluk ini dengan pendengaran dan penglihatan. Manusia pun diberi akal dan nurani untuk mengontrol alat inderanya itu. Allah memberi manusia dengan ujian berupa perintah dan larangan. Allah juga sudah memberi petunjuk berupa jalan yang lurus. Meski demikian, ada diantara mereka yang bersyukur ada pula yang kafir. 

Buya Hamka dalam buku Pelajaran Agama Islam sudah jauh-jauh hari mengingatkan kita tentang sifat manusia yang kerap lupa. Apabila kita lupa lalu timbul kesombongan lantaran nikmat yang dianugerahkan Allah, ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama itu mengajak agar manusia mengingat ayat tentang takdir. Dengan begitu, kita menyadari jika segala sesuatu yang ada pada diri ini hanya pinjaman dan ilmu pengetahuan belaka. 

Pada zaman itu, Buya Hamka bahkan sudah mengingatkan tentang kemajuan-kemajuan para bangsa pada abad ke-18 hingga 19. Mereka merasa bangga karena mendapat kepandaian baru. Mereka merasa dunia sudah dikuasainya. Pada abad ke-20, datanglah keruntuhan karena bekas tangan mereka sendiri. Tenaga atom yang diharapkan bisa memberi manfaat kepada manusia berubah fungsi menjadi bom atom dan hidrogen. Mereka yang membuatnya pun takut memikirkannya karena ini adalah pangkal kehancuran. Wallahu a’lam

 

sumber : Dialog Jumat
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement