Jumat 25 Sep 2020 05:14 WIB

Pengamat Kritisi PKPU Masih Perbolehkan Kampanye Tatap Muka

Kampanye metode pertemuan terbatas dan pertemuan tatap muka dan dialog.

Pilkada serentak 2020 berlangsung saat pandemi Covid-19 belum reda.
Foto: Republika
Pilkada serentak 2020 berlangsung saat pandemi Covid-19 belum reda.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Deputi Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) Hurriyah mengkritisi adanya Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 13 Tahun 2020 yang masih membuka ruang adanya pertemuan tatap muka pada tahapan kampanye di Pilkada Serentak 2020. "Mengenai Peraturan KPU yang baru keluar, saya sangat menyayangkan karena di dalam regulasi itu masih dibuka ruang untuk partai politik maupun peserta pemilu mengumpulkan massa walaupun ada catatan soal protokol kesehatan," ujar Hurriyah dalam sebuah diskusi daring di Jakarta, Kamis (24/9).

Pada PKPU terbaru itu disebutkan bahwa kampanye pemilihan serentak lanjutan dapat dilaksanakan dengan metode pertemuan terbatas dan pertemuan tatap muka dan dialog. Aturan tersebut tertuang pada Pasal 57 Huruf a dan b.

Baca Juga

Pada Pasal 58 Ayat 2 disebutkan bahwa terkait pertemuan terbatas dan pertemuan tatap muka dan dialog dilakukan dengan sejumlah ketentuan, yakni digelar di dalam ruangan atau gedung, peserta yang hadir dibatasi paling banyak 50 orang dengan menjaga jarak paling kurang satu meter.

Berikutnya, wajib menggunakan alat pelindung diri, tersedia sarana sanitasi yang memadai, dan diwajibkan mematuhi ketentuan penanganan COVID-19 yang ditetapkan pemerintah daerah atau gugus tugas percepatan penanganan COVID-19.

Menurut Hurriyah, ketentuan memperbolehkan pertemuan tatap muka pada PKPU menjadi multitafsir. Sebab, peserta pemilu bisa memiliki berbagai alasan untuk melakukan pertemuan tatap muka dengan pemilih.

"Peserta pemilu bisa dengan mudah saja menginterpretasikan, misalnya kami tidak bisa melakukan pertemuan lewat daring tapi harus tatap muka dengan alasan geografis atau masyarakatnya, dan lain sebagainya," kata dia.

Hurriyah juga menilai KPU terlalu normatif dalam membuat peraturan, seolah-olah peserta pemilu maupun pemilih telah patuh sepenuhnya terhadap protokol kesehatan COVID-19 yang telah ditetapkan pemerintah. Padahal pada kenyataannya, kata dia, banyak sekali peserta pemilu maupun pemilih yang melakukan pelanggaran.

"Lihat saja faktanya waktu tahapan pendaftaran saja, sudah banyak sekali terjadi pelanggaran protokol kesehatan," ujar Huriyyah.

Dia berpandangan bahwa apabila Pilkada Serentak 2020 tetap digelar di tengah pandemi COVID-19, maka ketentuan pertemuan-pertemuan tatap muka seharusnya hanya diperbolehkan pada saat tahapan pencoblosan. "Pertemuan offline itu seharusnya hanya diperbolehkan jika itu berkaitan dengan pemberian suara, penggunaan hak suara para pemilih. Di situ KPU bisa memastikan agar protokol kesehatan bisa dijalankan betul-betul," kata Hurriyah.

"Ketentuan offline harusnya hanya berlaku untuk itu. Sementara kegiatan yang dimaksudkan untuk mempengaruhi pilihan politik pemilih, misalnya sosialisasi, kampanye, dan sebagainya menurut saya harusnya diatur semua dalam bentuk online," kata dia.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement