Jumat 25 Sep 2020 02:02 WIB

MAKI Terus Berharap pada KPK di Skandal Djoko Tjandra

MAKI tetap berharap KPK ambil bagian dalam mengungkap skandal Djoko Tjandra

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Bayu Hermawan
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menunjukan bukti baru sebelum diserahkan ke KPK terkait rangkaian perkara yang melibatkan Djoko Soegiarto Tjandra di Gedung KPK Merah Putih, Jakarta, Rabu (16/9/2020). Bukti tersebut diantaranya salinan percakapan antara Pinangki dengan Anita Kolopaking dan Djoko Tjandra yang menyebut istilah King Maker dan diduga sebagai sosok yang mempunyai kendali pembebasan Djoko Tjandra dari Fatwa Mahkamah Agung (MA). .
Foto: MUHAMMAD ADIMAJA/ANTARA
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menunjukan bukti baru sebelum diserahkan ke KPK terkait rangkaian perkara yang melibatkan Djoko Soegiarto Tjandra di Gedung KPK Merah Putih, Jakarta, Rabu (16/9/2020). Bukti tersebut diantaranya salinan percakapan antara Pinangki dengan Anita Kolopaking dan Djoko Tjandra yang menyebut istilah King Maker dan diduga sebagai sosok yang mempunyai kendali pembebasan Djoko Tjandra dari Fatwa Mahkamah Agung (MA). .

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) terus menaruh harapan agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera melakukan supervisi bukti-bukti yang tidak disertakan dalam dakwaan Jaksa Pinangki Sirna Malasari. Sebelumnya, Koordinator MAKI Boyamin Saiman sudah memberikan sejumlah bukti keterlibatan oknum lain dalam perkara yang menjerat Pinangki. 

"Berkaitan dengan kekurangan yang dikerjakan Kejaksaan Agung kan sudah saya serahkan kepada  KPK untuk disupervisi dan saya minta untuk dilakukan penyelidikan baru,  tersendiri atau dikembangkan berkaitan dengan tiga hal, king maker, "bapak ku bapakmu" dan kemudian juga berkaitan dengan 5 inisial itu," ujar Boyamin kepada Republika.co.id, Kamis (27/9). 

Baca Juga

"Jadi mudah-mudahan KPK mampu menindaklanjuti dan kami serahkan sepenuhnya kepada KPK, " tambah Boyamin. 

Menanggapi dakwaan terhadap Pinangki yang dibacakan pada Rabu (23/9) kemarin. MAKI menilai seharusnya Pinangki juga dikenakan  pasal 12 huruf a Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (tipikor). 

"Pasal 5 UU tipikor itu terlalu sederhana karena sebatas memberi atau menerima saja di lingkingan pegawai negeri," kata Boyamin. 

Boyamin mengatakan, pasal 12 huruf a tidak hanya berbicara terkait menerima atau memberi. Dia melanjutkan, pasal tersebut juga memasukan pemberian hadiah atau janji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu berdasarkan jabatan tertentu seseorang.

"Seorang jaksa ini seharusnya menangkap buron, ini malah membantu buron. Pinangki itu kan jaksa jadi seharusnya membawa pulang buron enggak boleh membantu," ujarnya.

Boyamin mengatakan, pasal 5 merupakan pasal sederhana berkenaan dengan Pinangki sebagai aparat penegak hukum. Menurutnya, hakim seharusnya memberikan pasal lain agar dapat mendalami kasus dugaan suap yagn berkaitan dengan terbitnya fatwa Djoko Tjandra.

Dia mengatakan, tidak mungkin jaksa bawah seperti Pinangki bergerak sendiri. Menurutnya, sulit bagi jaksa sekelas Pinangki untuk mendapatkan tandatangan jaksa agung terkait fatwa Djoko Tjandra.

Boyamin menduga, Pinangki pasti menyebut nama tertentu untuk dijadikan pijakan guna meyakinkan Djoko Tjandra hingga akhirnya mau membayarkan sejumlah uang. Artinya, sambung  dia, perlu ditelusuri siapa nama yang dicatut Pinangki dalam rangka meyakinkan agar bersedia mengurus fatwa.

"Tapi mudah-mudahan hakim akan menggali sampai sejauh itu, jadi kita tunggu lagi saja persidangannya seperti apa," tambah Boyamin.

Sementara Indonesia Corruption Watch (ICW) meragukan kelengkapan berkas Kejaksaan Agung ketika melimpahkan perkara yang melibatkan jaksa Pinangki Sirna Malasari ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. ICW mencatat setidaknya ada empat hal yang terlihat ‘hilang’ dalam penanganan perkara tersebut. 

"Pertama, Jaksa Penuntut Umum tidak menjelaskan, apa yang disampaikan atau dilakukan oleh  Pinangki Sirna Malasari ketika bertemu dengan Djoko S Tjandra, sehingga membuat buronan kasus korupsi itu dapat percaya terhadap Jaksa tersebut," kata Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana. 

ICW menilai hal tersebut sangat penting, sebab secara kasat mata, tidak mungkin seorang buronan ‘kelas kakap’ seperti Djoko S Tjandra dapat menaruh kepercayaan tinggi kepada Pinangki. Terlebih Pinangki juga tidak memiliki jabatan penting di Kejaksaan Agung. 

"Selain itu, psikologis pelaku kejahatan sudah barang tentu akan selalu menaruh curiga kepada siapa pun yang ia temui, " ujar Kurnia. 

Catatan kedua ICW, Jaksa Penuntut Umum belum menjelaskan, apa-apa saja langkah yang sudah dilakukan oleh Pinangki dalam rangka menyukseskan action plan. Ketiga, dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum juga belum menyampaikan siapa jaringan langsung Pinangki atau Anita Kolopaking di Mahkamah Agung. 

"Selain itu, apa upaya yang telah dilakukan Jaksa tersebut untuk dapat memperoleh fatwa dari MA," tutur Kurnia.

Sebab, fatwa hanya dapat diperoleh berdasarkan permintaan lembaga negara. Tentu dengan posisi Pinangki yang hanya menjabat sebagai Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan, mustahil dapat mengurus fatwa yang nantinya kemudian diajukan oleh Kejaksaan Agung secara kelembagaan. 

Catatan keempat, Jaksa Penuntut Umum juga belum memberikan informasi, apakah saat melakukan rencana mengurus fatwa di MA, Pinangki bertindak sendiri atau ada Jaksa lain yang membantu. Sebab, untuk memperoleh fatwa tersebut ada banyak hal yang mesti dilakukan, selain kajian secara hukum, pasti dibutuhkan sosialiasi agar nantinya MA yakin saat mengeluarkan fatwa. 

Di luar itu, ICW mempertanyakan kepada Kejaksaan Agung, apakah proses pelimpahan perkara ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dilakukan atas koordinasi terlebih dahulu kepada KPK. Sebab, KPK sendiri secara kelembagaan telah menerbitkan surat perintah supervisi pada awal September lalu. 

"Secara etika kelembagaan, semestinya Kejaksaan Agung berkoordinasi telah dahulu dengan KPK sesaat sebelum pelimpahan perkara itu," ujar Kurnia. 

"Bahkan Pasal 10 ayat (1) UU 19/2019 telah menegaskan bahwa dalam melakukan tugas supervisi KPK berwenang melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, " tambah Kurnia. 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement