Kamis 24 Sep 2020 19:59 WIB

Islam di Albania, Kembali Menguatnya Identitas Muslim

Islam kembali menguat di Albani setelah sebelumnya redup.

Islam kembali menguat di Albani setelah sebelumnya redup.  Ilustrasi Masjid Agung Tirana di Albania
Foto: Wikipedia
Islam kembali menguat di Albani setelah sebelumnya redup. Ilustrasi Masjid Agung Tirana di Albania

REPUBLIKA.CO.ID, Islam—setelah lebih dua dekade sejak kejatuhan rezim ateis Enver Hoxha—telah sepenuhnya kembali ke Albania. Islam tidak hanya dianut generasi tua Albania, seperti ditulis banyak media Barat, tapi juga diajarkan ke generasi muda. Islam memperoleh kembali pijakannya di masyarakat Albania dan sedang menuju masa depannya. 

Masjid Ethem Bey bukan lagi satu-satunya tempat ibadah bagi Muslim di Tirana karena puluhan lainnya tumbuh di sekujur ibu kota dalam dua dekade terakhir. Diperkirakan saat ini terdapat 500 masjid di seluruh Albania.

Baca Juga

Namun, jumlah itu masih terlalu kecil dibanding yang dihancurkan atau diubah menjadi gudang oleh rezim ateis sepanjang 1970-an, yang diperkirakan mencapai 1.200. Satu-satunya yang selamat dari penghancuran adalah Masjid Ethem Bey karena keindahan arsitektur dan nilai sejarahnya yang luar biasa. 

Hampir seluruh masjid yang muncul setelah 1990 atau sejak berakhirnya rezim ateis dibangun organisasi-organisasi Islam dari Timur Tengah. Organisasi-organisasi itu juga membiayai perjalanan haji ratusan bahkan mungkin ribuan Muslim Albania, serta memberi beasiswa kepada generasi muda yang ingin belajar ke Arab dan negara-negara Islam lainnya.  

Generasi pertama Muslim Albania yang belajar ke luar negeri, lebih tepatnya yang berangkat sepanjang paruh pertama 1990-an, kini menjadi ujung tombak pengajaran Islam di kalangan generasi muda. Mereka mengurus masjid, mengorganisasikan pengajian, menggelar zikir dan ritual-ritual lainnya, serta mengelola madrasah. 

Pada 1924 dalam upaya mempertahankan Islam sebagai identitas nasional Albania, sejumlah ulama di Tirana mendirikan Albania’s Sunni Muslim Community (ASMC). Sebelum komunis berkuasa, ASMC mengelola banyak tanah wakaf, madrasah, dan aset-aset produktif untuk membiayai ratusan masjid, menghidupi para imam dan guru agama, serta menjamin kelangsungan pendidikan anak-anak Muslim Albania. 

Hoxha membubarkan ASMC dan menasionalisasi semua asetnya. Pada 1991 ASMC muncul lagi dengan nama baru, Albanian Islam Community (AIC), dan menjadi satu-satunya organisasi Muslim Albania yang diakui pemerintah. Namun, pemerintah tidak segera melimpahkan aset ASMC yang disita rezim komunis ke AIC secepatnya. 

Generasi muda Muslim Albania, dengan dukungan dari negara-negara Timur Tengah berusaha mengambil alih AIC, mengelola semua aset, serta mengontrol madrasah dan masjid. Salafi, subfaksi di tubuh generasi muda Muslim Albania di AIC, mencoba menarik Bektashi, sempalan Syiah yang menolak semua syariat Islam, ke dalam AIC. 

Yang muda lebih agresif, generasi tua cenderung defensif. Sampai sekian tahun sejak Pemerintah Albania mengembalikan aset umat Islam, generasi tua tetap menguasi AIC. Generasi muda bergerak di luar gedung organisasi. Mereka mencari dana dari Arab Saudi, Yaman, dan negara-negara Arab lainnya untuk pembangunan ratusan madrasah dan masjid. 

Di madrasah-madrasah yang dibangunnya, generasi muda mengajarkan bahasa Arab. Bahkan, sejumlah sekolah menggunakan bahasa Arab sebagai pengantar. Mereka meramaikan masjid dengan shalat lima waktu berjamaah. Di masjid generasi tua penganut Hanafi, masjid tidak ubahnya gereja, terlihat ramai hanya sehari dalam sepekan.

Di level bawah, pertarungan terjadi antara Muslim pro-Arab dan Turki. Mereka yang pro-Arab mengidentifikasi diri dengan berpakaian ala Arab, dengan celana panjang sebatas mata kaki dan serban. Adapun yang pro-Turki berpakaian seperti biasa. 

Yang pro-Arab mengecam Muslim pro-Turki sebagai orang yang abai dan lebih mengedepankan praktik-praktik keagamaan yang bertentangan dengan Islam. Mereka berupaya meletakkan pondasi keislaman yang benar di masyarakat Albania dengan membangun madrasah untuk mendidik generasi esok serta membangun ratusan masjid. 

Kelompok pro-Turki cukup agresif mengembangkan diri. Mereka yang menggunakan retorika sejarah merasa lebih bisa diterima masyarakat Albania. Seperti kelompok pro-Arab, Muslim Turki membangun sekolah-sekolah keagamaan dan sekuler serta menggunakan kurikulum berstandar tinggi. Diyanet, Departemen Agama Turki, memiliki perwakilan di Albania dan aktif menjalin kerja sama dengan lembaga-lembaga keislaman di negeri itu. 

Pirro Misha, intelektual sekuler yang memonitor perkembangan keagamaan di Albania, mengatakan, kelompok pro-Turki tampaknya memenangkan pengaruh di Albania. Tahir Zenelhasani dari Islamic Cultural Center di Tirana mengatakan, pendekatan kultural kelompok pro-Turki lebih bisa diterima masyarakat Albania. 

Pertarungan kelompok hojas (ulama) pro-Turki dan hojas pro-Arab terjadi di hampir semua masjid di Tirana dan kota-kota lain di Albania. Kelompok pro-Arab lebih agresif dengan terus menyerang para imam masjid kelompok pro-Turki. Sedangkan, kelompok pro-Turki memilih pendekatan defensif.  

Di AMC kelompok pro-Turki berupaya menyingkirkan pengaruh Arab. Situasi ini direspons oleh kelompok pro-Arab dengan menarik orang-orangnya keluar dari AMC dan mendirikan Liga Imam Albania. Di Shkoder, muncul Forum Muslim Albania. 

Keduanya aktif melakukan dakwah di tengah masyarakat dan memperkokoh posisi di tengah masyarakat dengan membangun masjid-masjid baru, madrasah, dan mengirim generasi muda Albania ke negara-negara Arab.

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement