Kamis 24 Sep 2020 19:48 WIB

Menata Ulang Bangsa: Menemukan Kembali Kepemimpinan Publik

Pemusatan kekuasaan di individu adalah jalan lapang membaurnya domain publik & privat

Sudirman Said
Foto: dok. Media center Sudirman Said
Sudirman Said

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh Sudirman Said, Ketua Institut Harkat Negeri, disampaikan pada Acara Launching Buku Reinventing Indonesia “Menata Ulang Bangsa”, 23 September 2020 di Jakarta

Prof Ginandjar Kartasasmita dan Dr Joseph J Stern, lewat bukunya yang menantang, “Reinventing Indonesia, Menata Ulang Bangsa”, mengajak kita melakukan refleksi dan sekaligus menatap jauh ke masa depan. Jika dilihat dari susunannya, dimana pembahasan di mulai dengan uraian singkat proses yang berlangsung selama enam dekade, dari 1945 sampai dengan 2004, dan kemudian disusul dengan penjelasan lebih rinci pada setiap tahapannya, maka dapat dikatakan bahwa buku ini hendak mengajak publik untuk melihat kembali perjalanan republik, memeriksanya dengan cermat, agar diperoleh apa yang dipandang sebagai segi-segi positif, dan apa yang dapat dikatakan sebagai segi-segi negatif.

Prof. Ginandjar Kartasasmita, merupakan pelaku, sehingga keterangannya, tidak hanya berbobot sebagai “hasil pengamatan”, akan tetapi juga punya bobot “kesaksian” pelaku. Pelajaran apa yang dapat diambil? Ulasan ini, hendak menelusurinya dari pintu kepemimpinan.

“Ke Luar” dari “Krisis”

Para perintis kemerdekaan, adalah mereka (pribadi-pribadi) yang mengerti apa yang telah terjadi pada bangsanya, punya gambar masa depan bangsanya, dan tahu apa yang harus dilakukan, untuk menyelamatkan bangsa, agar bangsa dapat mencapai cita-cita luhurnya. Lembaran sejarah mencatat: (1) secara internal, keadaan bangsa demikian terpuruk, akibat ekonomi perang yang dijalankan oleh pemerintah Balatentara Jepang; dan (2) secara eksternal, tengah berlangsung perang dunia II, yang jika boleh disederhanakan, merupakan konflik antara antara kekuatan “fasis” dan kekuatan “demokrasi”. Jejak teks konstitusi, menunjukan bahwa para perintis, telah memilih merdeka, dan menata kemerdekaan dengan tata republik yang berkedaulatan rakyat.

Jatuh bangun pemerintahan, menghiasi perjalanan bangsa, dan kemudian, suatu “stabilisasi” diadakan, melalui apa yang dikenal sebagai kembali ke UUD’45. Tentu keputusan yang diambil telah melalui pertimbangan yang masak, terlebih karena keputusan tersebut memuat perubahan yang mendasar, yakni tampilnya konsep

“keterpimpinan” terhadap semua segi kehidupan negara, tidak terkecuali ekonomi.

Hal yang segera hadir adalah manuver politik yang intens – baik dalam makna konsolidasi kekuatan-kekuatan politik yang mendukung pemerintah maupun penyingkiran terhadap oposisi, kebijakan ekonomi terpimpin – yang membuat keadaan ekonomi morat-marit2, dan tentu kehidupan rakyat makin tertekan, bahkan kebutuhan pokok menjadi barang langka, sulit didapatkan (p.13). Dari sudut pandang masa kini, keadaan tersebut dapat dikatakan merupakan suatu krisis, dan keadaan itu pula yang telah membuka ruang kesempatan untuk suatu gagasan baru dan sosok-sosok baru.

Babak berikutnya adalah penataan, setelah keadaan relatif dapat distabilisasi, dengan arah utama – sejauh yang tampak, adalah reformasi ekonomi. Term “reform” penting untuk ditonjolkan untuk membedakannya dengan langgap periode sebelumnya, dan lembaran baru memiliki concern yang kuat pada kesanggupannya untuk mengeksekusi keputusan politik secara baik. Apakah suatu gagasan besar akan tetap tinggal sebagai suatu gagasan, ataukah dapat bertransformasi menjadi kebenaran nyata dan bermanfaat dalam kehidupan warga, akan ditentukan oleh tindakan implementasi yang terukur dan kemampuan untuk mengendalikan syarat-syarat politik yang dibutuhkan, agar langkah tersebut punya dasar pembenar.

Dengan tim ekonomi yang baik, berlatar belakang akademik – teknokrat, kebijakan dengan pentahapan perkembangan yang tertata dan stabilitas politik yang dinamis, pembangunan berjalan, mencapai target-targetnya. Tentu publik punya banyak sudut pandang untuk melihat pencapaian pembangunan. Pro dan kontra, tidak terelakkan. Pada ujungnya adalah sentralisasi kekuasaan pada individu, KKN, krisis ekonomi, dan merosotnya kepercayaan publik, yang bertemu dengan krisis keuangan, hingga terbuka kesempatan bagi suatu perubahan ke arah demokrasi.

Refleksi: Ketegangan Antara Privat dan Publik

Pembangunan, tentu merupakan proses yang kompleks, yang melibatkan demikian banyak faktor. Ketika suatu pilihan cara membangun (strategi pembangunan) diambil dan dijalankan, maka akan terbuka peluang untuk berhasil, gagal, atau keadaan diantara dua kutub tersebut. Apakah yang disebut sebagai keberhasilan, sepenuhnya merupakan kinerja dari aspek-aspek “teknis”, ataukah juga dipengaruhi oleh aspek-aspek non teknis, seperti penerimaan politik dan keadaan yang mendukungnya.

Demikian halnya dengan apa yang disebut sebagai kegagalan pembangunan. Masalah ini, tentu merupakan obyek studi yang penting, terutama jika kita hendak menggunakannya untuk memeriksa secara lebih dalam tantangan-tantangan yang muncul pada setiap periode pemerintahan, dan terutama bagaimana suatu stabilitas (politik dan ekonomi) yang berhasil dibangun, pada akhirnya harus bertemu dengan krisis, yang tidak saja mengakhiri pemerintahan, tetapi juga membuka peluang perubahan.

Pada bagian akhir tulisannya, Prof Ginandjar Kartasasmita dan Dr Joseph J Stern, menyebutkan bahwa banyak kemajuan yang telah dicapai bangsa, namun demikian banyak tantangan yang harus diatasi dan masalah yang harus ditangani agar sistem politik demokrasi membuka jalan menuju kemajuan manusia, masyarakat dan bangsa Indonesia. Ada masalah yang bersifat internal, baik masalah ekonomi maupun politik; ada tantangan eksternal, baik masalah geopolitik, yang berpotensi mengganggu stabilitas kawasan dan akan berpengaruh pada ekonomi nasional, maupun masalah sebagai akibat dari perubahan iklim dan perubahan akibat revolusi di bidang teknologi informasi dan komunikasi.

Di atas itu, kita kini sedang menghadapi masalah yang jauh lebih berat, yakni Pandemi Global Covid-19, yang membawa dampak perubahan global, yang ancaman krisis global, dan tentu akan berakibat pula keadaan nasional.

Soalnya, bagaimana mengatasi kesemua persoalan tersebut? Apa factor pokok yang perlu menjadi perhatian. Kita menyaksikan bahwa pada setiap periode pemerintahan, maupun pada saat peralihan kekuasaan, sangat nampak, bahwa faktor politik, menjadi elemen yang dominan. Ketika krisis sosial-ekonomi memicu krisis politik, dan pada saat yang sama, kepercayaan warga pada pemerintah merosot, maka pada saat itulah krisis politik, akan menjadi pintu bagi masuknya alternatif, yakni “lokasi” dimana harapan warga akan tertumpu.

Hendak dikatakan di sini, bahwa upaya mengatasi keadaan, akan sangat mengandalkan kepercayaan warga atau kepercayaan publik. Pemusatan kekuasaan pada individu, merupakan jalan lapang bagi membaurnya domain publik dan domain privat. Memang, jika dilihat dengan kacamata ini, bahwa dalam proses penyelenggaraan pembangunan, akan selalu tampak ketegangan antara yang privat dan yang publik.

Ketika kepemimpinan tampak jelas berorientasi pada kepentingan publik, maka pada saat itulah kepercayaan publik yang terkonsolidasi. Sebaliknya, ketika kepemimpinan mulai menonjolkan kepentingan privat, apakah pribadi, keluarga maupun kelompok, maka pada saat itulah, grafik kepercayaan publik menurun, bahkan mungkin akan melaju sampai ke titik nol.

Perjalanan bangsa sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, memperlihatkan dengan sangat jelas bahwa suatu stabilitas politik yang sepenuhnya mengandalkan kepercayaan publik, merupakan hal sangat sulit dicapai, dan karena itu, selalu muncul godaan untuk mengambil jalan pintas. Yang dimaksudkan dengan jalan pintas di sini, adalah jalan pemusataan kekuasaan politik dan hukum.

Ujung Orde Lama, merupakan bentuk kongkrit dimana semua kekuasaan ada di tangan satu orang. Ujung Orde Baru, dalam formatnya yang berbeda, pada dasarnya memuat substansi yang sama, yakni otoritarianisme dan sentralisme. Watak tersebut langsung nampak dari wajah Orde selanjutnya, yang ditandai dengan demokratisasi (pers bebas, kebebasan berorganisasi, pemilu, dan lain-lain) dan desentralisasi, serta masalah KKN.

Kini, demokrasi paska Orde Baru, telah melahirkan tiga kali pemilu Presiden, yang dapat dikatakan bahwa ruang kesempatan bagi pemusatan kekuasaan telah menjadi semakin sempit. Oleh karena yang menjadi pertanyaan besar kita adalah bagaimana membatasi segala potensi yang memungkinkan diambilnya jalan pintas dalam membangun stabilitas politik.

Mungkinkan sepenuhnya dihadirkan suatu kepemimpinan publik? Pertanyaan ini sangat layak untuk diajukan, mengingat bangsa membutuhkan stabilitas yang sesungguhnya, agar seluruh agenda bangsa dapat dijalan secara baik, sehingga citacita bangsa dapat diwujudkan menjadi kenyataan dalam kehidupan sehari-hari. Kebutuhan akan stabilitas, didasarkan pada kenyataan bahwa instabilitas (politik) telah menjadi bagian dalam perjalanan bangsa.

Karena itulah, kita diperlukan suatu konsepsi baru menyangkut stabilitas, yang dalam hal ini hendak kita mengerti sebagai keadaan politik yang ditandai dengan bekerjanya kepemimpinan publik. Adapun kepemimpinan public, adalah wujud kepemimpinan yang: (1) dalam segala seginya berorientasi pada kepentingan dan keselamatan publik; (2) dalam segala tindak-tanduknya didasarkan pada nilai-nilai keutamaan; (3) dalam bekerja senantiasa mengandalkan ilmu; (4) mengerti sejarah secara baik; dan (5) mempunyai visi yang kongruen dengan cita-cita publik.

Untuk mendapatkannya, diperlukan dua langkah sekaligus, yakni pada satu sisi menjaga agar jangan sampai jalan pragmatik-transaksional, sehingga stabilitas politik dibangun di atas tiang yang rapuh, dan disisi yang lain adalah melebarkan ruang kesempatan bagi mereka yang mampu mengemban kepemimpinan publik untuk dapat masuk arena dan mengabdi.

Jakarta, 23 September 2020

1. Prof. Ginandjar Kartasasmita adalah tokoh dengan segudang pengalaman, sejak akhir tahun 60an, atau masa awal Orde Baru. Berikut ini beberapa posisi yang pernah diemban oleh Prof Ginanjar Kartasasmita: Sekretaris Tim GBHN, Manggala GBHN; Ketua BKPM (1985-1988); Menteri Pertambangan dan Energi (1988-1993); Anggota MPR/Badan Pekerja MPR (1982-1987, 1987-1992, 1993-1988); Ketua Komisi A, GBHN, Sidang Umum MPR Tahun 1988, 1993/Badan Pekerja MPR/RI (1982); Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua BAPPENAS (1993-1998); Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri Kabinet Pembangunan VII, merangkap Kepala Bappenas (16 Maret 1998-21 Mei 1998); dan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri Kabinet Reformasi Pembangunan (1998-1999).

2. Anne Booth dalam Emerson (2001:187), menerangkan keadaan pada periode itu sebagai: Mengenai keadaan Indonesia pada pertengahan 1960an, vonis keras yang disampaikan oleh seorang ekonom dengan pengalaman tangan pertama, Benjamin Higgins, menggambarkan keadaan menyedihkan – kesan suram yang terlihat pula pada penilaian, sebagian besar ekonomi, yang berpengetahuan tentang Indonesia pada waktu itu. Indonesia pada 1966, tulis Higgins, "Pasti harus dianggap sebagai kegagalan ekonomi nomor satu diantara negara-negara besar yang sedang berkembang".

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement