Kamis 24 Sep 2020 18:48 WIB

Diary Penyintas Covid-19 (5): I Want To be A Normal Person

Saya ingin merasa normal, meski tahu kondisi tidak normal.

Tenaga kesehatan memeriksa ambulans di Rumah Sakit Darurat Penanganan COVID-19, Wisma Atlet Kemayoran, di Jakarta.
Foto: Rivan Awal Lingga/ANTARA FOTO
Tenaga kesehatan memeriksa ambulans di Rumah Sakit Darurat Penanganan COVID-19, Wisma Atlet Kemayoran, di Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Fauziah Mursid*

Satu hal yang menjadi pertimbangan saya kenapa memilih isolasi di Wisma Atlet Kemayoran segera setelah hasil swab saya menunjukan positif Covid-19. Saat itu, saya ingin merasa normal, meski tahu kondisi saya pada saat itu tidak normal.

Baca Juga

Menyadari ada virus di tubuh saya, yang entah perkembangan akan sampai mana, kemudian melihat kondisi keluarga di rumah, saat itu ada bapak saya yang berusia 58 tahun, adik saya dan ponakan saya sehat tanpa gejala. Saat itu memang, hasil swab mereka belum keluar, dan benar saja, seminggu setelahnya diketahui hasil swab mereka negatif, saat saya sudah berada di Wisma Atlet.

Belum lagi memikirkan ibu saya yang kalah itu masih dalam perawatan di rumah sakit, tak adil bagi saya jika tetap berada di rumah bersama anggota lain. Saya ingin berbagi sama rasa dengan ibu saya terpisah dari keluaga, berjuang melawan virus, meski di tempat berbeda.

Berada di satu lingkungan yang sama dengan pasien Covid-19 lainnya, saya rasa cukup tepat membantu proses pemulihan. Sama rasa, sama beban setidaknya bisa menjadi dorongan semangat untuk sembuh segera.

Sehari setelah di Wisma Atlet, masih dengan gejala yang saya rasakan saat itu, demam saat malam dan penciuman hilang, saya masih lebih bersyukur, banyak pasien lainnya yang datang ke Wisma Atlet dengan gejala sedang, batuk kering, sesak nafas, diare, bahkan mual juga muntah.

Setiap pagi, siang dan sore, penghuni kamar di masing-masing pantau biasanya berkumpul di depan ruang perawatan untuk mengantri jadwal pemeriksaan rutin mulai dari tensi darah, cek nadi dan saturasi serta pengambilan obat.

Di saat menunggu antrian itu pula, dengan tetap menggunakan masker tentunya, biasanya kami saling bertukar tanya. Entah sudah berapa lama tinggal di Wisma, gejala apa yang dirasakan, obat apa yang sudah dikonsumsi, lalu bagaiamana efek obat terhadap tubuh, hingga bergurau untuk hal-hal ringan untuk menyemangati.

Atau sesekali bercerita mengenai kisah pilu pasien Covid-19 usai dinyatakan positif Covid-19. Saya teringat cerita seorang ibu, mengaku sudah dua minggu lebih di Wisma Atlet, namun ia tidak juga bisa pulang. Itu karena hasil swabnya berturut-turut masih positif dan belum mencapai ambang batas nilai virus yang aman.

Ia juga bercerita mengenai kesedihannya usai ditinggal lebih dahulu sang suami karena positif Covid-19, sementara ia dan keluarga juga harus menjalani isolasi di Wisma Atlet. Ada juga cerita pasien lain, yang menjadi bulan-bulanan cibiran tetangga, karena dianggap penyebar virus Covid-19 di lingkungannya.

Bahkan, ada juga kepiluan seorang pasien yang diusir dari kos-kosannya, saat kondisi ia masih di Wisma Atlet.

Sekelumit cerita yang saya dapat Itu lag menguatkan saya, meski memang tidak layak untuk disyukuri, tapi membuat saya sadar bahwa cobaan yang saya hadapi ini tidak hanya menimpa keluaga kami, tetapi juga yang lain. Ini juga menjadi semangat saya menjalani hari-hari di Wisma Atlet Kemayoran.

Kebiasaan lain yang dilakukan pasien isolasi di Wisma Atlet saat pagi adalah olahraga pagi. Biasanya sebagian pasien mendatangi jogging track yang disediakan di Tower Wisma Atlet yang berada di lantai 16 atau 12.

Ada yang memilih senam bersama dengan sesama pasien lainnya, ada yang berlari santai, merenggangkan badan, berjalan hingga duduk di sekitar lokasi untuk berjemur matahari.

Lagi, lagi ini membuat saya merasa tetap bisa menjalani aktifitas normal, untuk sekadar berjemur di luar ruangan, olahraga pagi tanpa harus khawatir tetangga tertular. Saya hanya ingin merasa tetap normal.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement