Rabu 23 Sep 2020 21:39 WIB

Pembangunan Jangan Sampai Korbankan Kawasan Desa

Jika mengabaikan lingkungan, maka kerugian ekonominya akan sangat tinggi

Seorang warga memikul pupuk kandang di perladangan sekitar instalasi sumur Geothermal atau panas bumi PT Geo Dipa Energi di kawasan dataran tinggi Dieng Desa Kepakisan, Batur, Banjarnegara, Jawa Tengah, Rabu (19/8/2020). PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero) dan PT Geo Dipa Energi (Persero) pada hari ini Rabu (19/8/2020) melakukan penandatanganan perjanjian dengan Asian Development Bank (ADB) untuk proyek Pembangunan PLTP (Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi) Dieng Unit 2 dan PLTP Patuha Unit 2 masing masing berkapasitas 55 MW sebagai salah satu wujud upaya penyediaan listrik melalui Energi Baru Terbarukan (EBT) panas bumi.
Foto: ANTARA/Anis Efizudin
Seorang warga memikul pupuk kandang di perladangan sekitar instalasi sumur Geothermal atau panas bumi PT Geo Dipa Energi di kawasan dataran tinggi Dieng Desa Kepakisan, Batur, Banjarnegara, Jawa Tengah, Rabu (19/8/2020). PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero) dan PT Geo Dipa Energi (Persero) pada hari ini Rabu (19/8/2020) melakukan penandatanganan perjanjian dengan Asian Development Bank (ADB) untuk proyek Pembangunan PLTP (Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi) Dieng Unit 2 dan PLTP Patuha Unit 2 masing masing berkapasitas 55 MW sebagai salah satu wujud upaya penyediaan listrik melalui Energi Baru Terbarukan (EBT) panas bumi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Direktur Riset Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Berly Martawardaya mengatakan dalam upaya melakukan pembangunan seharusnya jangan sampai mengorbankan kawasan desa. Ia mengatakan Jika hal tersebut diabaikan maka secara ekonomi akan berdampak besar. Untuk itulah pembangunan ke depan itu harus berorientasi pada aspek lingkungan.

 

“Harapan saya adanya RUU Cipta Kerja ini tidak mengorbankan kawasan desa berupa hutan dan Sumber Daya Alat untuk kesejahteraan (penghuni kota). Jika mengabaikan lingkungan, maka kerugian ekonominya akan sangat tinggi,” ujarnya dalam keterangan kepada Republika.co.id di Jakarta, Rabu (23/9).

Berly menyampaikan pandangannya itu saat berbicara pada diskusi bertajuk Menyoal Konflik dalam RUU Cipta Kerja yang digelar di Jakarta. Menurut dia, tujuan RUU Cipta Kerja itu bagus. Tetapi dalam isinya, kata dia, terdapat pasal-pasal yang perlu dikritisi dan terkesan salah arah. Ia pun memberikan catatan terkait izin dalam RUU Cipta Kerja yang prosedurnya berbasis risiko.

“Analisa berbasis risiko itu perlu dilengkapi dengan analisa dan ada //safeguard// seperti di Australia,” katanya.

Berly juga menilai perlu agar RUU Cipta Kerja diikuti perbaikan sektor kesehatan, kualitas tenaga kerja dan infrastruktur. Menurutnya, hal itu akan ampuh untuk dapat menarik investor asing, khususnya pada sektor manufaktur yang berorientasi ekspor.

Ekonom Universitas Indonesia ini menilai saat ini ekspor manufaktur Indonesia termasuk yang terendah di Asia. Padahal, kata dia, Presiden Joko Widodo telah mencanangkan transformasi ekonomi untuk memprioritaskan investasi yang berorientasi ekspor.

“Negara-negara Asia Timur seperti Korea, kemudian negara Malaysia, Taiwan dan Thailand ekonominya bergerak maju karena banyak investasi di sektor manufaktur. Ekspor manufaktur Indonesia paling rendah,” katanya.

Berly menjelaskan, masalah rendahnya presentase investasi berorientasi ekspor di Indonesia ini sebenarnya sudah lama berlangsung.Padahal Indonesia ini, kata dia, belum termasuk negara kaya seperti Jepang atau Korea yang beralih dari sektor manufaktur kepada sektor jasa.

“Dengan pertumbuhan ekonomi dan investasi rendah, maka yang kita butuhkan sekarang adalah sektor manufaktur berorientasi ekspor. Semoga RUU ini dapat mendorong investasi berbasis sumberdaya alam,” katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement