Kamis 24 Sep 2020 03:32 WIB

Pilkada Serentak dan Inkonsistensi Penanganan Covid-19

Akan lebih baik jika saat ini pemerintah fokus pada penanganan Covid-19.

Pilkada (ilustrasi)
Foto: Republika/Yogi Ardhi
Pilkada (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Slamet Tuharie* 

Pilkada serentak tahun 2020 yang akan digelar di 270 daerah di Indonesia di tengah kondisi pandemi Covid-19 menuai pro kontra. Kalangan ormas Islam yang diwakili oleh Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sepakat meminta pemerintah menunda pelaksanaan Pilkada serentak dengan alasan mengutamakan keselamatan masyarakat Indonesia. Hal ini wajar mengingat pesta demokrasi daerah itu tak bisa dilepaskan dari mobilisasi massa, mulai dari saat pendaftaran, masa kampanye, sampai kepada waktu pemilihan dilakukan. Semua tahapan itu ‘selalu’ berhubungan dengan massa.

Bahkan faktanya, baru saja proses pendaftaran dimulai, Bawaslu telah mencatat sedikitnya 316 bakal pasangan calon kepala daerah melakukan pelanggaran protokol kesehatan. Artinya dari 678 bakal pasangan calon yang telah terdaftar, ada 45,99 persen bacalon yang melanggar terkait penerapan protokol kesehatan dalam rangka penanganan Covid-19. Luar biasanya lagi, pelanggaran itu terjadi di 243 daerah atau di 90 persen daerah penyelengara pilkada serentak. Dari angka-angka ini, tentu sudah bisa disimpulkan, seberapa besar komitmen peserta Pilkada serentak dalam mematuhi protokol kesehatan? 

Adapun wacana terkait pemberian sanksi bagi pasangan bakal calon yang melanggar protokol kesehatan sebagaimana yang ‘direncanakan’ oleh Bawaslu, menurut saya justru akan blunder dan menjadi ‘jurus baru’ dalam pertarungan politik di daerah. Bisa jadi, bacalon kepala daerah akan mengumpulkan massa pendukungnya pada kegiatan yang dilakukan oleh lawan politiknya agar lawan politiknya mendapatkan sanksi dari Bawaslu. Maka, potensi pertarungan tidak sehat di Pilkada serentak dengan memanfaatkan kepatuhan terhadap protokol kesehatan sangat besar kemungkinannya terjadi.

Oleh karena itu, selain melihat pada alasan NU dan Muhammadiyah sudah sama-sama sepakat untuk menunda pelaksanaan Pilkada serentak 2020 ini dengan alasan keselamatan rakyatnya, pemerintah juga perlu melihat fakta dilapangan sebagaimana temuan Bawaslu terhadap tingkat kepatuhan bacalon kepala daerah terhadap penerapan protokol kesehatan. Pandangan NU dan Muhammadiyah sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia nyatanya didasari oleh prinsip dar’u al-mafasid muqqaddamun ‘ala jalbi al-mashalih (menghilangkan kemadharatan harus lebih didahulukan dibandingkan dengan memperoleh kemasalahatan). 

Inkonsistensi Pemerintah dalam Penanganan Covid-19

Positivity rate Covid-19 di Indonesia terus mengalami peningkatan bahkan nyaris tiga kali lipat dari standar aman yang ditetapkan oleh WHO, yakni 5 persen. Pada Selasa (22/9), positivity rate Covid-19 di Indonesia sudah diangka 14,3 persen. Bahasa sederhananya, dari 100 orang yang diperiksa spesimennya, 14-15 orang dinyatakan positif. Parahnya, hal ini juga masih ditambah dengan ketidaktertiban masyarakat dalam mematuhi protokol kesehatan yang telah ditetapkan. Selain itu, Indonesia juga dihadapkan pada realitas masyarakat yang tidak percaya dengan keberadaan Covid-19 sebagai sebuah ancaman serius. Bahkan tidak sedikit masyarakat yang menganggap Covid-19 sebagai bagian dari konspirasi global. 

Di Bogor misalnya, daerah dengan tingkat kasus yang cukup tinggi dan dekat dengan DKI Jakarta, menurut survey yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Bogor, hanya 15 persen masyarakat yang percaya dengan adanya Covid-19. Hal ini kemudian memicu penularan Covid-19 dari kluster keluarga yang menyumbangkan 34,7 persen dari total kasus positif Covid-19 di Bogor. Bagaimana dengan di daerah lain? Saya kira pemerintah juga perlu melakukan survey serupa, terutama di daerah-daerah yang akan menggelar Pilkada serentak 2020. 

Oleh karena itu, pemerintah punya tugas berat untuk mensosialisasikan bahaya COVID-19 kepada seluruh masyarakat Indonesia dalam rangka melindungi keselamatan warganya. Jangan sampai, momentum Pilkada menjadi klaster baru penularan COVID-19 di Indonesia, karena tak bisa dipungkiri momentum Pilkada—sekali lagi—tak bisa dipisahkan dari kegiatan mobilisasi massa dalam setiap tahapannya. 

Padahal, pemerintah sendiri telah melarang kegiatan yang bersifat kumpul-kumpul atau yang bersifat mobilisasi. Sebaliknya, pelaksaan Pilkada serentak tidak bisa dipisahkan dari hal itu. Maka bisa dikatakan bahwa melanjutkan pelaksanaan Pilkada serentak adalah bentuk dari inkonsistensi pemerintah dalam penanganan COVID-19 yang angkanya semakin semakin menghkawatirkan. Sebaliknya, menunda pelaksaan Pilkada serentak berarti pemerintah memang konsisten dalam menangani penyebaran COVID-19, minimal meminimalisir. 

Jika pun Pilkada serentak akan tetap dilanjutkan dengan dalih tetap dengan protokol kesehatan, pertanyaan berikutnya adalah seberapa besar kontrol pemerintah dalam mengawasi kegiatan politik dan menjamin tidak akan adanya pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan oleh calon kepala daerah? Saya kira akan sulit dilakukan. Belum lagi seperti yang saya sampaikan di atas, bahwa wacana pemberian sanksi pagi pasangan calon kepala daerah yang melanggar protokol kesehatan justru akan menjadi kesempatan bagi lawan politik untuk ‘saling menjatuhkan’ satu sama lain. 

Maka dari itu, akan lebih baik jika saat ini pemerintah fokus pada penanganan COVID-19 yang setiap hari positivity ratenya terus mengalami kenaikan. Termasuk, pemerintah juga harus fokus pada peningkatan pelayanan kesehatan untuk masyarakat dan kebijakan-kebijakan lain yang akan menghambat penyebaran Covid-19. PR lainnya yang dihadapi pemerintah saat ini juga bagaimana menyatukan kebijakan antar kementerian dan lembaga dalam penanangan Covid-19 di Indonesia ini tidak tumpang tindih antara satu dengan yang lainnya. 

Menurut saya, jelas bahwa melindungi kehidupan masyarakat Indonesia, jauh lebih penting dibandingkan dengan melaksanakan Pilkada serentak sesuai jadwal yang justru dapat memicu munculnya klaster baru COVID-19 di Indonesia. Terakhir, pemerintah perlu meniru NU dan Muhammadiyah yang dengan kebesaran hatinya menunda pelaksanaan Muktamar yang sedianya dilangsungkan pada 2020 ini dengan alasan untuk menjaga keselamatan masyarakat Indonesia. Tunda Pilkada Serentak, Selamatkan Masyarakat Indonesia!!!

*Tim Pelaksana Satuan Tugas Penanganan COVID-19 NU CARE-LAZISNU, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement