Rabu 23 Sep 2020 06:15 WIB

Evaluasi Penting Jelang Setahun Berakhirnya Moratorium Sawit

Sebelumnya berakhirnya moratorium, industri sawit masih terhambat evaluasi penundaan

Pekerja menimbang tandan buah segar (TBS) kelapa sawit usai dipanen di Tebo Ilir, Tebo, Jambi (ilustrasi). Setahun sebelum berakhirnya moratorium sawit, industri sawit di Indonesia masih terhambat pada penundaan dan evaluasi perizinan.
Foto: Antara/Wahdi Septiawan
Pekerja menimbang tandan buah segar (TBS) kelapa sawit usai dipanen di Tebo Ilir, Tebo, Jambi (ilustrasi). Setahun sebelum berakhirnya moratorium sawit, industri sawit di Indonesia masih terhambat pada penundaan dan evaluasi perizinan.

REPUBLIKA.CO.ID, Idealisa Masyrafina/Wartawan Republika

Setahun sebelum berakhirnya moratorium sawit, industri sawit di Indonesia masih terhambat pada penundaan dan evaluasi perizinan. 

Dalam Inpres No. 8 tahun 2018 yang terbit pada 18 September 2018 disebutkan ada empat aspek besar dalam moratorium yaitu penundaan perizinan, evaluasi perizinan, peningkatan produktivitas dan penguatan kelembagaan petani. Namun, selama dua tahun moratorium, Pemerintah masih belum juga menyelesaikan dua aspek pertama.

Berdasarkan analisis Yayasan Madani Berkelanjutan, terdapat sekitar 11,9 juta hektar lahan memiliki izin perkebunan sawit namun belum ditanami. Sementara itu terdapat 8,4 juta hektar sawit tak berizin, dengan rincian 1,4 juta hektar pola perusahaan, 4 juta hektar tak diketahui, 2,3 juta hektar smallholders dan 400 ribu hektar sawit muda.

Menurut Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Teguh Surya, konsolidasi data menjadi sangat penting dalam industri kelapa sawit ini agar tidak kelebihan produksi seperti yang selama ini terjadi.

"Konsolidasi data ini harus final sehingga kita punya satu rujukan data sawit, kalau evaluasi perizinan efektif dilakukan," ujar Teguh Surya kepada Republika.co.id, Selasa (22/9).

Masih belum adanya konsolidasi data final, kata Teguh, menunjukkan bahwa evaluasi perizinan tidak berjalan struktural dengan Inpres. Padahal, tata kelola industri sawit ini merupakan hal yang sangat penting dalam perekonomian. 

Ia menyoroti masih banyaknya petani sawit yang miskin karena status perkebunan mereka ilegal. Petani sawit yang ilegal hanya dapat menjual sawit mereka dengan harga murah dan tidak akan mendapatkan subsidi dari pemerintah karena tidak tercatat resmi. 

Selain itu, pelaksanaan sertifikasi sawit berkelanjutan yang tertuang dalam Perpres No. 44 Tahun 2020 Penyelenggaraan Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil Certification System/ISPO juga akan sulit diimplementasi jika moratorium sawit tidak berjalan dengan semestinya.

Teguh memberikan beberapa masukan terkait pelaksanaan moratorium yang batas waktunya tinggal setahun lagi ini. Pertama, pelaksanaan Inpres harus diperketat dengan adanya monitoring, dan semua Kementerian terkait harus terlibat termasuk Kemendagri yang membawahi Pemerintah Daerah. 

Kedua, kepastian anggaran serta adanya petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis sesuai alokasi yang ada. Ini menjadi salah satu kendala utama Pemerintah Daerah karena pendapatan dari industri sawit yang masuk ke daerah sangat kecil, sementara daerah yang harus mengatasi konflik dan berbagai permasalahan di lapangan. 

"Pemprov dan pemda mengeluarkan instruksi daerah sangat bagus, karena mereka tidak bisa menunggu. Kan wilayah mereka yang dirugikan," kata Teguh.

Ketiga, mengingat batas waktu yang semakin dekat, harus segera dibicarakan rencana melakukan perpanjangan sampai dengan indikator keberhasilan tercapai. 

"Ini yang belum dirumuskan. Dalam Inpres hanya dibatasi tiga tahun, harusnya berbasis indikator capaian," ujar Teguh.

Selanjutnya, ketiga hal tersebut harus didorong oleh semangat untuk tidak lagi membuka sawit di hutan alam, baik di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan. 

Ia berharap, Pemerintah bisa segera mendorong optimalisasi pelaksanaan moratorium demi peningkatan ekonomi. "Pasar dunia juga memonitoring moratorium kita. Apalagi dunia tidak mau disalahkan karena menggunakan sawit yang terlibat deforestasi, nanti yang diuntungkan Malaysia karena progressnya lebih bagus dari kita," kata Teguh. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement