Selasa 22 Sep 2020 05:20 WIB

Australia Cabut BMAD untuk Produk Trafo Daya Indonesia

Selama ini produk trafo daya asal Indonesia dikenakan tarif bea masuk 28,3 persen.

Rep: Iit Septyaningsih/ Red: Nidia Zuraya
Pekerja memasang trafo penurun daya untuk distribusi listrik ke pelanggan.
Foto: Antara/Ari Bowo Sucipto
Pekerja memasang trafo penurun daya untuk distribusi listrik ke pelanggan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Australia mencabut pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) sebesar 28,3 persen untuk eksportir produk trafo daya atau power transformers asal Indonesia. Keputusan itu ditetapkan berdasarkan laporan akhir dari Anti Dumping Review Panel (ADRP) Australia yang dirilis pada 14 September 2020.

Produk trafo daya merupakan perangkat listrik pasif yang mentransfer energi listrik dari satu rangkaian listrik ke rangkaian lainnya atau beberapa rangkaian. Trafo paling sering digunakan meningkatkan tegangan listrik rendah pada arus tinggi atau menurunkan tegangan listrik tinggi pada arus rendah dalam aplikasi tenaga listrik dan untuk menggabungkan tahapan rangkaian pemrosesan sinyal elektromagnet.

Baca Juga

“Tentu kita menyambut baik keputusan Australia mencabut BMAD bagi salah satu eksportir trafo daya Indonesia ini. Peluang mengisi pasar di Australia semakin terbuka, mengingat Taiwan sebagai salah satu pesaing saat ini masih dikenakan BMAD," ujar Menteri Perdagangan Agus Suparmanto pada Senin (21/9).

Kementerian Perdagangan (Kemendag) berharap, kinerja ekspor produk tersebut kembali meningkat. Dengan begitu dapat mendorong pemulihan ekonomi nasional saat ini.

 

Agus pun berharap, pencabutan BMAD ini dapat memberikan kontribusi pada upaya mempertahankan. Bahkan meningkatkan ekspor Indonesia ke Australia di tengah pandemi Covid-19.

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag Didi Sumedi mengungkapkan, pencapaian ini tidak lepas dari kerja keras dari pemerintah dan eksportir Indonesia dalam memperjuangkan hambatan dagang tersebut.

“Sejak awal penyelidikan, baik pemerintah maupun eksportir selalu bersikap kooperatif. Australia tetap mengenakan BMAD setelah sunset review dan Indonesia mengajukan banding ke ADRP karena tidak terdapat bukti yang mendukung dilanjutkannya perpanjangan pengenaan BMAD tersebut,” jelas dia.

Laporan akhir itu, lanjutnya, merupakan hasil upaya banding perusahaan yang didukung Pemerintah Indonesia atas keputusan Australia yang memperpanjang penerapan BMAD selama lima tahun ke depan dengan besaran 28,3 persen. Perpanjangan itu berdasarkan temuan penyelidikan peninjauan kembali pada 6 November 2019 silam.

“Pemerintah Indonesia telah melakukan beragai upaya, baik secara prosedural melalui serangkaian submisi pembelaan ke Otoritas dan ADRP maupun melalui upaya diplomatis tingkat pejabat tinggi (high level officials) selama penyelidikan peninjauan kembali oleh ADRP. Tujuannya agar akses pasar di Australia kembali terbuka lebar,” kata Direktur Pengamanan Perdagangan Kemendag Pradnyawati.

Ia menjelaskan, penghentian pengenaan BMAD ini hanya diberikan kepada perusahaan eksportir yang mengajukan banding ke ADRP. Saat ini, ekspor produk trafo daya ke Australia hanya dilakukan oleh satu atau dua perusahaan nasional.

Diharapkan, di masa datang akan lebih banyak lagi eksportir nasional yang dapat memenuhi kebutuhan produk tersebut di dunia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, kinerja nilai ekspor trafo daya Indonesia ke Australia cenderung menurun setelah dikenakan BMAD dengan besaran 28,3 persen pada 2014.

Pada 2015, nilai ekspor produk tersebut ke Australia sebesar 7,4 juta dolar AS, namun turun drastis menjadi 797 ribu dolar AS pada 2018. Kemudian terus mengalami tren penurunan hingga 667 ribu dolar AS pada 2019.

Pada tingkat global, ekspor trafo daya Indonesia mengalami pasang surut. Pada 2015, kinerja ekspor produk tersebut mencapai 42 juta dolar AS, namun turun menjadi 9,7 juta dolar AS pada 2016 dan 4,6 juta dolar AS pada 2017.

Kinerja kembali membaik pada 2018 dengan mencatat nilai ekspor mencapai 14,11 juta dolar AS dan naik menjadi 22,3 juta dolar AS pada 2019. Pasar global produk trafo daya diproyeksikan mencapai 31,5 miliar dolar AS pada 2025.

Hal itu disebabkan permintaan energi yang tinggi, lonjakan investasi di pembangkit listrik baru, meningkatnya pengeluaran utilitas untuk meningkatkan infrastruktur transmisi dan distribusi ke standar smart grid, serta penjualan yang kuat dari trafo yang hemat energi dan ramah lingkungan.

“Pemerintah Indonesia akan terus mendorong eksportir memanfaatkan peluang ini secara optimal guna meningkatkan kinerja ekspor produk trafo daya di tengah kelesuan ekonomi akibat pandemi Covid-19," jelas Pradnyawati.

Dirinya melanjutkan, berbagai langkah tersebut akan dilakukan dengan tetap memperhatikan ketentuan perdagangan internasional. Ini demi menghindari tuduhan serupa di masa mendatang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement