Ahad 20 Sep 2020 10:57 WIB

Muslim Pattani Rindu Perdamaian dan Kebebasan di Thailand

Muslim Pattani meminta Thailand memberikan hari Jumat sebagai hari libur.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Muhammad Hafil
Muslim Pattani Rindu Perdamaian dan Kebebasan di Thailand. Foto ilustrasi: Muslim Pattani Thailand, menjalankan ibadah Shalat Id di sebuah masjid di Provinsi Pattani, Thailand Selatan, Ahad (24/5).
Foto: REUTERS/Surapan Boonthanom
Muslim Pattani Rindu Perdamaian dan Kebebasan di Thailand. Foto ilustrasi: Muslim Pattani Thailand, menjalankan ibadah Shalat Id di sebuah masjid di Provinsi Pattani, Thailand Selatan, Ahad (24/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Thailand pada pekan lalu telah bertemu dengan delegasi kelompok Muslim di Thailand selatan untuk mendengarkan aspirasi mereka di tengah kekerasan yang sedang berlangsung di wilayah tersebut. Delegasi Perdamaian Thailand Selatan dipimpin oleh Ketua Dewan Agama Islam Pattani Baba Abdulrahman, sedangkan Wanlop Rugsanaoh hadir sebagai ketua delegasi pemerintah.

Perwakilan Muslim meminta pemerintah untuk menyatakan bahwa Jumat, hari suci bagi umat Islam, sebagai hari libur umum. Dan juga bahasa Melayu dinyatakan sebagai bahasa resmi Provinsi Pattani, Yala, Narathiwat dan Songkhla selatan.

Baca Juga

Keempat provinsi tersebut memiliki populasi besar komunitas Muslim Melayu, Patani, dengan 1,4 juta penduduk, menurut data pemerintah. Perwakilan juga mengusulkan mereka yang akrab dengan praktik Islam untuk bertanggung jawab atas urusan haji, menyusun hukum Islam untuk provinsi dan pengembangan industri halal.

Pakar Islam Indonesia di Asia Tenggara dari Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, Teuku Zulkhairi, menyampaikan apresiasi atas pertemuan tersebut. Zulkhairi menuturkan kepada Anadolu Agency kelompok minoritas  di selatan merupakan bagian dari entitas Muslim Melayu yang memiliki sejarah kuat dan panjang di Asia Tenggara.

Menurut dia, mereka bukanlah komunitas baru di provinsi selatan dan mencatat bahwa Islam telah memasuki wilayah tersebut pada abad ke-15, yang menyebabkan berdirinya Kerajaan Patani Darussalam. "Nama Patani berasal dari al-Fatani dalam bahasa Arab yang berarti 'cendekiawan' karena banyak ulama Muslim lahir di sana," kata Zulkhairi.

Kerajaan Patani Darussalam kemudian ditaklukkan oleh Kerajaan Siam, penguasa Thailand, pada tahun 1785. Siam menguasai seluruh wilayah Patani dan membaginya menjadi tujuh provinsi.

Penguasa Thailand, Raja Chulalongkorn, melanggar perjanjian damai dengan provinsi-provinsi pada tahun 1901 dan melancarkan kampanye militer. Itu berakhir pada tahun 1909 dengan perjanjian Anglo-Siam, yang membuka jalan bagi Kerajaan untuk mencaplok wilayah selatan Thailand.

Zulkhairi menekankan pentingnya pemerintah Thailand memberikan kebebasan bagi minoritas Muslim dalam menjalankan ajaran agama dalam bahasa dan kurikulum pendidikan. Dia juga meminta negara Muslim terbesar di Asia Tenggara - Indonesia dan Malaysia - untuk mendorong Thailand melindungi hak-hak minoritas Muslim Patani.

Zulkhairi mengatakan jika umat Islam di Thailand selatan dapat hidup damai dan menikmati kebebasan dan keadilan, hal itu akan memberikan pengaruh positif pada citra Thailand di mata internasional. "Ini menjadi tantangan bagi pemerintah Thailand untuk menunjukkan komitmennya," ujarnya.

Aktivis hak asasi manusia dari Asosiasi Solidaritas Masyarakat Sipil Malaysia, Mustopha Mansor yang sering memberikan bantuan kemanusiaan di Thailand selatan, memiliki pandangan yang sama tentang minoritas Muslim. "Tuntutan dari delegasi Muslim Patani sesuai dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB 1948," kata Mansor. Dari deklarasi tersebut, minoritas Muslim Patani memiliki hak untuk mengutarakan pendapat, memilih agama dan keyakinan, serta bebas dari rasa takut.

Sementara itu, aktivis hak asasi manusia Thailand dari LSM Bicara Patani, Zahri Ishak, mengatakan ini adalah ketiga kalinya Wanlop mengunjungi wilayah selatan untuk menampung aspirasi umat Islam Patani. "Dia ada di sana untuk mendengar usulan atau tuntutan dari berbagai pihak, itu bisa dilakukan kapan saja oleh pemerintah Thailand," ujarnya.

Namun, Ishak mengingatkan tim negosiasi perdamaian untuk tidak meninggalkan dialog yang sedang berlangsung dengan kelompok pemberontak yang paling berpengaruh, Front Revolusioner Nasional Melayu (BRN), karena itu adalah entitas yang berbeda dengan Delegasi Perdamaian Thailand Selatan.

Thailand secara resmi meluncurkan proses perdamaian dengan kelompok pemberontak Barisan Revolusi Nasional Melayu Patani (BRN) pada 21 Januari di Kuala Lumpur, Malaysia. Negosiasi telah dimediasi oleh Malaysia. "Ada kesan pemerintah Thailand ingin melokalkan kasus minoritas Muslim dan menjadikannya sebagai masalah domestik, bukan masalah internasional," kata aktivis itu.

 

sumber : Anadolu Agency
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement