Ahad 20 Sep 2020 05:32 WIB

Impitan Ekonomi, Pengungsi Suriah Paksa Anak 13 Tahun Nikah

Pengungsi mengaku tidak punya pilihan ketika beban ekonomi semakin berat

Rep: Mabruroh/ Red: Gita Amanda
Ilustrasi Pernikahan Dini. Pengungsi Suriah di Lebanon terpaksa menikahkan anaknya di usian13 atau 14 tahun karena himpitan ekonomi.
Foto: Republika/ Wihdan
Ilustrasi Pernikahan Dini. Pengungsi Suriah di Lebanon terpaksa menikahkan anaknya di usian13 atau 14 tahun karena himpitan ekonomi.

REPUBLIKA.CO.ID, LIBANON -- Banyak pengungsi Suriah di Libanon menikahkan putrinya yang masih berusia 13 atau 14 tahun. Hal ini terjadi lantaran mereka mengaku tidak punya pilihan ketika beban ekonomi semakin berat dan krisis di negara itu terus meningkat.

Selama beberapa bulan terakhir, kelompok aktivis perempuan, melihat kebanyakan pengungsi Suriah yang menikahkan anak-anaknya di masa remaja. Karena keadaan ekonomi Libanon, sehingga para pengungsi yang tinggal di negara tersebut menjadi semakin putus asa.

"Pernikahan anak telah ada sebelumnya, tetapi tidak sampai pada level ini,” kata Fatima Aleter, seorang pengungsi Suriah dan salah satu pemimpin sukarelawan dari kampanye oleh LSM Women Now.

Survei menunjukkan, bahwa kondisi kehidupan pengungsi Suriah di Lebanon pada awal 2019 menemukan bahwa 27 persen gadis berusia 15 hingga 19 tahun telah menikah. Survei itu mendahului krisis ekonomi yang dimulai pada Oktober 2019 dan semakin memburuk pada 2020. Dan saat ini, tekanan bagi keluarga untuk menikahkan putri mereka semakin meningkat.

Saat relawan Women Now mengunjungi keluarga yang sedang mempertimbangkan untuk menikahkan putri remaja mereka, Aleter berkata, hal utama yang mereka sampaikan adalah karena situasi ekonomi. "Saya memiliki empat atau lima anak, dan seorang pengantin pria akan datang untuk menanyakan putri saya, mengapa saya ingin menolaknya?" ujar salah seorang keluarga.

Awalnya, keluarga tersebut dibubuhi cerita bahwa calon pengantin laki-laki adalah pemuda yang baik dan calon suami yang baik. Sehingga sebagai pengungsi yang tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan anak-anaknya akan memilih menikahkan putri mereka dengan laki-laki itu.

Aleter lalu membagikan cerita putrinya sendiri, yang menikah pada usia 14 dan bercerai pada usia 19 tahun setelah suaminya menjadi kasar. Ini adalah cerita umum, banyak gadis-gadis yang dinikahkan muda sering kembali kepada keluarga mereka setelah pernikahan tersebut gagal, bahkan sering mereka kembali pada keluarga dengan membawa anak mereka. Hal ini menurutnya, menjadikan beban orangtua pengungsi semakin menjadi berat.

“Putri Anda kembali kepada Anda dalam keadaan hancur setelah mengalami semua jenis kekerasan, dan sekarang dia memiliki seorang anak. Anda telah gagal dalam tanggung jawab Anda. Mereka berpikir bahwa pernikahan adalah solusinya, tetapi itu bukanlah solusi," kata Aleter dilansir dari Alarabiya pada Sabtu (19/9).

Aleter sendiri menikah pada usia 17 tahun saat masih tinggal di Suriah. Aleter ingin melanjutkan studinya, dan calon suaminya telah berjanji bahwa dia bisa, tetapi setelah mereka menikah, dia mengubah nadanya karena orang tuanya menentang dia belajar atau bekerja.

Aleter pindah ke Lebanon, dia memutuskan untuk menikahkan putrinya yang berusia 14 tahun dengan sepupunya, yang berusia 17 tahun lebih tua. Pada akhirnya, ketika putrinya memutuskan untuk meninggalkan suaminya, Aleter pun melawan suaminya dan menceraikannya juga.

Hal yang sama diakui Joumana Rahmoun yang menikah pada usia 13 tahun dan bercerai pada usia 18 tahun. Ia memiliki seorang putra berusia tiga setengah tahun, yang tidak diizinkan untuk dia temui.

Pada saat dia dinikahkan, Rahmoun mengatakan ayahnya berada di penjara, dan ibunya khawatir dengan masalah seperti pelecehan atau penyerangan seksual sedangkan suaminya tidak ada. Akhirnya Rahmoun menyetujui pernikahan itu, tanpa tahu apa yang akan menimpa dirinya.

“Setiap hari aku dipukuli. Aku bahkan mencoba bunuh diri tiga kali untuk menyelesaikannya. Aku kehilangan banyak hal, dan aku tidak ingin gadis mana pun mengalami apa yang aku alami," ujar Rahmoun.

Hingga saat ini, aktivis hak-hak perempuan Lebanon telah berkampanye selama bertahun-tahun untuk usia pernikahan minimum nasional 18 tahun. Saat ini, usia pernikahan, seperti kebanyakan masalah hukum keluarga, ditetapkan oleh pengadilan agama.

Relawan lain di Women Now, Anas Tello mengatakan bahwa kelompok tersebut sengaja memilih untuk fokus bekerja dalam komunitas daripada melobi untuk pembuatan undang-undang.

"Dalam kampanye kami ada orang Lebanon dan Suriah, tapi itu 80 persen atau 90 persen Suriah. Kami tidak memiliki kekuatan untuk mengubah hukum di Lebanon. Jadi, kami melihat bahwa kami dapat bekerja pada komunitas dan budaya komunitas kami. Ada kelompok lain yang bekerja di bidang hukum. Kami melihat di mana kami dapat membuat perbedaan," ujar Tello.

Setelah kampanye-kampanye dilakukan, di kamp pengungsian di Beqaa, beberapa warga telah mengubah pikiran mereka setelah berdiskusi dengan relawan Women Now. Misalnya Juma Mohammed, seorang pengungsi dari Raqaa, Suriah, tinggal di sebuah kamp dekat kota Lebanon Zahle. Dia sekarang telah menolak pelamar untuk putrinya yang masih berusia 16 tahun.

Ditambah lagi ujar Mohammed, setelah kerabatnya juga menikahkan putri mereka dan berujung perceraian. Ia tidak ingin nasib yang sama menimpa putrinya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement