Jumat 18 Sep 2020 17:14 WIB

Dokumen Ungkap Asal-Usul Khalifah ISIS yang Membingungkan

Dokumen mengungkapkan asal-usul khalifah ISIS yang rancu membingungkan.

Rep: Zainur Mahsir Ramadhan / Red: Nashih Nashrullah
Dokumen mengungkapkan asal-usul khalifah ISIS yang rancu membingungkan.  Ilustrasi Gerakan ISIS
Foto: Foto : MgRol112
Dokumen mengungkapkan asal-usul khalifah ISIS yang rancu membingungkan. Ilustrasi Gerakan ISIS

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Dokumen yang dirilis kelompok jihadis pada 2018 lalu menimbulkan pertanyaan tentang siapakah sekarang pemimpin ISIS dan dari manakah asal usul mereka. 

Direktur program Aktor Non-Negara dan Geopolitik di Pusat Kebijakan Global (CGP), Hasan, mencoba menjelaskan dokumen itu.

Baca Juga

Dia menyatakan, tujuan pembuatan dokumen itu adalah untuk mengisahkan kehidupan seorang jihadis Irak, dari yang awalnya hanya seorang pemuda biasa, hingga akhirnya menjadi salah satu pemimpin ISIS paling berpengaruh. 

Biografi dari Abu Ali al-Anbari, mantan wakil ISIS yang terbunuh pada 2018, kata dia, jelas ditujukan untuk membangun kepercayaan agama dan minat pribadi, jika seandainya pemimpin Abu Bakr al-Baghdadi dibunuh lebih cepat.

Menurut Hasan, dokumen itu juga memiliki relevansi yang diperbarui. Meskipun, klaim utama dalam dokumen tersebut melibatkan asal etnis dari keluarga yang dimiliki pemimpin ISIS saat ini, Al-Mawla. 

Menurut Hasan, Jika al-Anbari berasal dari Turki, maka klaimnya sebagai suku Arab Quraisy adalah salah, dan dengan demikian klaimnya sebagai khalifah adalah tidak sah.

Namun, hal yang masih mengganjal menurut Hasan adalah pertanyaan mengenai asal mula dari pemimpin ISIS sekarang yang disimpulkan PBB. Utamanya, ketika pemimpin itu dipandang PBB hanya sebagai seorang pengganti hingga organisasinya menemukan orang Arab dengan kualifikasi suku dan agama yang tepat. 

Hasan menambahkan, pemimpin saat ini, Amir Muhammad Sa'id Abd-al-Rahman al-Mawla, merupakan nama asli orang yang diidentifikasi  ISIS sebagai Abu Ibrahim al-Hashemi al-Qurashi yang lahir pada 1976 di sebuah desa dekat Mosul. Desa, yang dikenal sebagai al-Mahalabiyah itu, memang didominasi etnis minoritas Turkmen di Irak.

Dengan latar belakang itu, mengutip pernyataan pihak berwenang di Irak dan Amerika Serikat, Hasan meyakini jika kelompok itu berbohong tentang asal-usul etnis pemimpinnya. Walaupun pada akhirnya, hal itu justru memperburuk perselisihan yang ada di dalam organisasi, menurut sumber di Baghdad yang mengetahui diskusi tersebut. 

Hasan menjelaskan lebih lanjut mengutip artikelnya dengan judul ‘Exclusive Look into the Islamic State’s New Leadership’ yang terbit di Center for Global Policy Kamis (17/9) kemarin. Pemimpin kedua setelah al-Baghdadi itu, juga diketahui menjalani pelatihan agama formal.  

Bahkan, disebutkan jika dia memegang gelar sarjana dalam studi Islam dari perguruan tinggi syariah di Universitas Mosul. Hasan menambahkan, Al-Mawla bahkan pernah menjabat sebagai hakim di Islamic State Irak (dikenal pada saat itu sebagai Alqaeda di Irak) sebelum dia ditangkap dan dipenjara Amerika Serikat di Irak selatan, tepatnya di Kamp Bucca pada 2008.

Meski dia dibebaskan di tahun setelahnya, Irak menyatakan bahwa dia dibebaskan setelah mengingkari janji setia pada Alqaeda dan memberi informasi mengenai semua jihadis yang diketahuinya. Sebagaimana, yang dirinci dalam dokumen interogasi otoritas Amerika Serikat terhadap pemimpin saat ini ketika dia di penjara.  

Sumber-sumber Irak juga mengatakan, jika al-Mawla sempat menjadi ajudan terpercaya al-Baghdadi sebelum akhirnya terbunuh. Yang tentu hal itu diklaim, tidak akan terjadi jika al-Mawla memberi tahu rekan-rekan jihadisnya.  

Sementara dari sumber resmi lainnya, Hasan menuturkan, ada gambaran lain yang diambil pihak berwenang secara umum mengenai kepemimpinan baru ISIS itu. Menurutnya, pemimpin ISIS saat ini, adalah bagian dari kelompok organisasi pengikut al-Anbari, mantan pemimpin puncak ISIS yang sempat diramalkan ayahnya untuk memimpin umat.  

Meski demikian, hingga kematiannya, Anbari memang diketahui telah menjadi ulama terlama dan berpangkat tertinggi di dalam ISIS. Di samping itu, dirinya juga telah dikaitkan dengan pemberontakan melawan Saddam Hussain pada 1990-an dan awal 2000-an. Faksi itu, dikenal sebagai Qaradish, yang selalu memainkan peran kunci dan besar dalam ISIS sejak awal. 

Hasan menegaskan, sebelum masa kepemimpinan saat ini, al-Anbari adalah yang terdekat dengan faksi tersebut untuk mengambil alih ISIS. Sedangkan dalam biografinya, Hasan mengeklaim hal itu adalah upaya pencegahan untuk membenarkan identitasnya. Walaupun, pada akhirnya ia terbunuh, bahkan sebelum kematian al-Baghdadi. 

Sumber: https://cgpolicy.org/articles/exclusive-look-into-the-islamic-states-new-leadership/

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement