Kamis 17 Sep 2020 18:32 WIB

Pandemi Covid-19 dan Kaum Sufi Baru

Sufi merupakan sosok yang memiliki keadaban Islami.

Jamaah melakukan persiapan sebelum menari Sufi (Darvis Whirling Dance) di Rumi Cafe di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin (5/6) malam.
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Jamaah melakukan persiapan sebelum menari Sufi (Darvis Whirling Dance) di Rumi Cafe di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin (5/6) malam.

Oleh Rakhmad Zailani Kiki, Kepala Lembaga Peradaban Luhur (LPL)

REPUBLIKA.CO.ID, Pandemi Covid-19 sesungguhnya cermin dari kebangkitan masyarakat baru, masyarakat Islam, yaitu kebangkitan kaum sufi baru.  

Kaum sufi baru ini adalah masyarakat Islam yang hidup di tengah pandemi Covid-19 yang mau tidak mau, siap atau tidak siap, harus mengamalkan ajaran sufi dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu agar kehidupannya tetap berjalan, merasakan ketenangan batin, dan tetap merasakan kebahagiaan walau dalam keterbatasan.

Menurut seorang ulama sufi Betawi terkemuka, KH Abdurrahim Radjiun bin Muallim Radjiun Pekojan, di dalam makalahnya yang berjudul Krisis Keimaman dan Keadaban Islami, orang yang dijuluki Sufi adalah apabila seorang Mukmin, Muslim, muhsin, sungguh-sungguh dengan jujur mengaktualisasi iman, Islam dan ihsannya, yakni dengan menggunakan tolok ukur keteladanan Rasulullah SAW.

Menurut KH Abdurrahim Radjiun, sufisme bukan ditandai dengan kekumuhan, kelusuhan, tarian, lirik syair, atau sikap kontroversial dan kontraproduktif yang dituduhkan kebanyakan orang. Seorang kepala negara, sultan, raja, perdana menteri, menteri, gubernur, bupati, walikota, camat, lurah, mandor, konglomerat, pengusaha, kyai, ustaz, muballigh, supir, kernet, pedagang kaki lima-asongan, pengamen, ibu rumah tangga,  mahasiswa, pelajar atau pengangguran sekalipun, kata dia, mereka dapat menjadi seorang sufi yang baik. Sejauh mereka mengimani dan membuktikan keimanannya bahwa jiwa dan harta mereka adalah dari Allah, diperoleh karena rahmat Allah dan bermanfaat di jalan Allah.

Masih mengutip KH Abdurrahim Radjiun, sufi merupakan sosok yang memiliki keadaban Islami.  Sedangkan keadaban Islami merupakan Sunnatullah, sebuah gerak dinamika kehidupan yang memiliki kepastian hukum secara Qurani yang harus dijaga keutuhan pertumbuhan dan perkembangannya oleh setiap pribadi Muslim dalam mengisi dan memberi nilai murni pada upaya penegakan hukum-hukum Allah di muka bumi.

Namun, sufisme bukanlah agama dan tidak akan dijadikan sebagai agama oleh para pengikutnya. Maka keberadaan kaum Sufi baru di berbagai lini kehidupan sosial dan kebangsaan, tidak menjajakan komoditas atau melakukan launching atau pemasaran produk baru keagamaan. Mereka adalah siapapun yang mewarisi dan hidup segaris dengan Kenabian. Dan mereka adalah kaum tengah yang santun dan tidak menyemai ambisi kekuasaan, tidak putus harapan dari rahmat Allah SWT di tengah himpitan kehidupan karena pandemi Covid-19. Mari kita menjadi bagian dari kaum sufi baru ini. 

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement