Kamis 17 Sep 2020 07:14 WIB

Adab Jika Istri Ingin Ibadah Sunnah

Istri harus mendapatkan izin suami jika ingin beribadah sunnah.

Rep: Wachidah Handasah/ Red: Muhammad Hafil
Adab Jika Istri Ingin Ibadah Sunnah. Foto: Muslimah shalat. (ilustrasi)
Foto: Yogi Ardhi/Republika
Adab Jika Istri Ingin Ibadah Sunnah. Foto: Muslimah shalat. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anda ingin puasa sunah, misalnya puasa Senin-Kamis? Jika Anda seorang Muslimah yang telah menikah, hendaknya Anda meminta izin terlebih dahulu kepada suami sebelum menjalankannya. Islam mengajarkan, istri harus mendapatkan izin dari suaminya ketika hendak beribadah sunah. Artinya, ia tidak boleh mengerjakan puasa, haji, ataupun iktikaf tanpa izin suaminya atau jika itu bisa menghalangi hak suaminya.

"Sebab, hak suami itu wajib dipenuhi dan tidak boleh digugurkan dengan ibadah yang hukumnya sunah," ujar Dr Abd al-Qadir Manshur, guru besar ilmu Alquran Universitas Sayf al-Dawlah, dalam bukunya, Buku Pintar Fikih Wanita. Selain itu, menurut Abd al-Qadir, suami juga berhak bersenang-senang dengan tubuh istri, dan itu tidak bisa terpenuhi jika sang istri sedang mengerjakan puasa, haji, dan iktikaf.

Baca Juga

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda: "Seorang istri tidak boleh berpuasa sementara suaminya berada di rumah, kecuali jika suaminya mengizinkan dirinya untuk berpuasa."

Bagaimana jika istri tetap saja berpuasa tanpa sepengetahuan suami? Jika terjadi seperti ini, suami boleh menyuruhnya untuk membatalkan puasa. Begitu juga ketika istri mengerjakan ibadah-ibadah sunah lainnya. Ketentuan ini telah disepakati oleh mayoritas fukaha (ahli fikih). Hanya saja, fukaha mazhab Syafi'i mengecualikan puasa rawatib yang sangat disunahkan, seperti puasa Arafah dan Asyura, juga shalat sunah mutlak yang tidak banyak menyita waktu. Artinya, suami tidak boleh melarang istri mengerjakan ibadah-ibadah sunah tersebut.

Bila suami telanjur memberi istrinya izin untuk mengerjakan ibadah-ibadah sunah di atas, suami boleh saja menyuruh istri membatalkannya. Hal ini ditegaskan oleh mazhab Syafi'i dan Hambali. Dalam salah satu riwayat disebutkan, Rasulullah SAW pernah memberi izin kepada Aisyah, Hafshah, dan Zainab untuk beriktikaf, tapi kemudian melarang mereka saat sedang mengerjakannya.

Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Aisyah bahwa Rasulullah SAW menganjurkan beriktikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan. Oleh karena itu, Aisyah lantas meminta izin kepada Nabi untuk beriktikaf dan Beliau pun mengizinkannya. Mengetahui Aisyah mendapat izin, Hafshah lalu meminta Aisyah untuk memohonkan izin kepada Rasulullah dan Beliau pun mengizinkannya. Permintaan serupa juga diutarakan Zainab binti Jahsy kepada Aisyah. Setelah semuanya mendapatkan izin untuk berikitikaf, ketiga istri Nabi SAW meminta beberapa sahabat agar membuatkan bilik khusus untuk mereka sebagai tempat iktikaf.

Seperti biasa, Nabi SAW selalu pergi ke kamarnya setelah selesai shalat. Ketika melihat banyak bilik, Beliau bertanya kepada para sahabat, "Apa ini?" Mereka menjawab, "Bilik Aisyah, Hafshah, dan Zainab." Beliau kemudian berkata, "Apakah ini semua mereka lakukan untuk berbuat satu kebaikan? Aku tidak akan melakukannya (membuat bilik khusus untuk sekadar beriktikaf)."

Pendapat lain menyatakan, seorang suami tidak boleh melarang istrinya melakukan ibadah sunah setelah mendapatkan izin darinya sebagaimana dikemukakan mazhab Hanafi. Alasannya, ketika suami telah memberikan izin berarti dia telah rela melepaskan haknya untuk bersenang-senang dengan istrinya. Saat itu istri telah memiliki hak suaminya dan suami tidak boleh merampasnya kembali.

Adapun menurut mazhab Maliki, suami boleh melarang istrinya melakukan ibadah sunah selama ibadah itu belum dikerjakan. Jika ibadah itu sudah atau sedang dikerjakan, suami tidak boleh melarangnya. Terkait istri yang mengerjakan ibadah sunah dengan nazar, suami boleh melarangnya jika tanpa sepengetahuan dan izinnya, sebagaimana pandangan mayoritas fukaha. Namun jika istri mengerjakan ibadah sunah itu dengan izin suami dan pada waktu tertentu yang sebelumnya sudah dinazarkan, tentu saja suami tidak boleh melarangnya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement