Selasa 15 Sep 2020 22:57 WIB

Arak dalam Masakan, Bagaimana Hukumnya?

Masakan yang biasa menggunakan arak ini adalah jenis tumis dan daging panggang.

Arak dalam Masakan, Bagaimana Hukumnya? (ilustrasi).
Foto: Reuters/Baz Ratner
Arak dalam Masakan, Bagaimana Hukumnya? (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Nur Wahid*

Jika kita dihadapkan pada segelas minuman keras, baik bir, wine, atau whisky, umat Muslim akan sepakat mengatakan tidak. Minuman itu adalah minuman haram yang tidak boleh diminum. Tetapi ketika dihadapkan pada sepiring ayam tumis kecap ala Jepang yang berbau harum dan rasanya enak, kita mungkin akan melahapnya dengan tanpa beban. Padahal ada kemungkinan masakan itu menggunakan arak sebagai salah satu bumbunya.

Penggunaan arak dalam masakan itu sepertinya sudah melekat, sulit dipisahkan. Banyak kegunaan yang diharapkan dari barang haram tersebut. Kegunaan pertama adalah melunakkan jaringan daging. Para juru masak meyakini bahwa daging yang direndam dalam arak akan menjadi empuk dan enak. Oleh karena itu daging yang akan dipanggang atau dimasak dalam bentuk tepanyaki seringkali direndam dalam arak.

Selain itu arak juga menghasilkan aroma yang khas, yang oleh para juru masak dianggap dapat mengundang selera. Aroma itu muncul pada saat masakan dipanggang, ditumis, atau digoreng. Munculnya arak itu memang menjadi salah satu ciri masakan Cina, Jepang, dan Korea.

Jenis arak yang digunakan dalam berbagai masakan itu bermacam-macam, ada arak putih (pek be ciu), arak merah (ang ciu), arak mie (kue lo ciu), arak gentong, dan lain-lain. Produsennya pun beragam, ada yang diimpor dari Cina, Jepang, dan Singapura. Banyak pula buatan lokal dengan menggunakan perasan tape ketan yang difermentasi lanjut (anggur tape). Penggunaan arak ini pun beragam, mulai dari restoran besar, restoran kecil, bahkan warung-warung tenda yang buka di pinggir jalan.

Keberadaan arak ini masih jarang diketahui oleh masyarakat. Sementara itu ada kesalahan pemahaman di kalangan pengusaha atau juru masak yang tidak menganggap arak sebagai sesuatu yang haram. Kalau tentang daging babi, mungkin sudah cukup dipahami berbagai kalangan bahwa masakan itu dilarang bagi kaum Muslim. Meskipun ada sebagian masyarakat yang melanggarnya, tetapi kebanyakan pengelola restoran tahu bahwa hal itu tidak boleh dijual untuk orang Muslim.

Lain halnya dengan arak. Sebagian besar kalangan pengelola restoran tidak menganggap bahan masakan itu haram hukumnya. Apalagi dalam proses pemasakannnya arak tersebut sudah menguap dan hilang. Sehingga muncul anggapan bahwa masakan yang menggunakan arak itu tidak apa-apa bagi umat Islam.

Anggapan tersebut tentu saja salah. Dalam Islam hukum mengenai arak atau khamr sudah cukup jelas, yaitu haram. Bukan saja mengkonsumsinya tetapi juga memproduksinya, mengedarkannya, menggunakan manfaatnya, bahkan menolong orang untuk memanfaatkannya. Nah, ini tentunya menjadi peringatan bagi kita semua agar lebih berhati-hati dalam membeli masakan, sekaligus juga menjadi perhatian bagi para pengelola restoran yang menjual produknya kepada masyarakat umum agar tidak menggunakan arak.

Masakan yang biasa menggunakan arak ini adalah jenis tumis, daging panggang, dan masakan semi basah. Aroma yang muncul dari arak itu kemudian dipadukan dengan berbagai bumbu-bumbuan yang lain, sehingga memunculkan flavor yang enak dan mengundang selera.

Beberapa pihak yang menyadari akan haramnya arak ini mencoba mencari alternatif lain. Misalnya dengan air jeruk limau atau kecap kedelai dengan aroma tertentu. Tetapi beberapa alternatif itu selalu ditolak produsen dan para juru masak. Menurut mereka, aroma yang muncul berbeda dengan yang ditimbulkan oleh arak masak. Kalau rasa dan aroma arak yang diinginkan muncul, memang sulit digantikan.

Arak masak ini sebenarnya memang berbeda dengan arak yang biasa diminum sebagai minuman keras. Di dalam arak masak ini biasanya sudah ditambahkan beberapa bumbu yang menyebabkannya memiliki rasa yang berbeda. Akan tetapi hakikat arak tetap melekat pada bahan tersebut. Ia juga adalah hasil proses fermentasi yang menghasilkan minuman keras, kemudian dimodifikasi dengan bumbu-bumbu tertentu.

Dilihat dari proses pembuatan dan bahan-bahan yang digunakannya, maka meskipun berbeda, namun status kehalalannya akan tetap sama dengan arak sebagai minuman keras. Kandungan alkoholnya pun, kalau ini dijadikan sebuah indikator, tetaplah tinggi. Dari hasil analisa terhadap beberapa arak masak yang beredar, kandungan alkoholnya berkisar antara 5-10 persen.

Penggunaan arak dalam masakan memang sangat sedikit. Paling-paling hanya ditaburkan beberapa tetes saja. Tetapi kalau statusnya sudah menjadi khamer, maka berlaku kaidah "yang banyaknya memabukkan maka sedikitnya juga haram". Oleh karena itu sesedikit apapun penggunaan arak dalam masakan, maka hukumnya akan tetap haram.

 

*Auditor LPPOM MUI.

**Artikel ini telah dimuat di Harian Republika, Jumat, 30 Desember 2005

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement