Selasa 15 Sep 2020 10:53 WIB

Kesehatan Vs Ekonomi: Antara Survei Publik dan Titah Jokowi

Jokowi menegaskan kesehatan masyarakat yang utama, tapi ekonomi juga harus bangkit.

 Seorang wanita berjalan melewati spanduk yang menunjukkan Presiden Indonesia Joko Widodo mengenakan masker pelindung wajah, di Jakarta, Indonesia, Senin (14/9). (ilustrasi)
Foto: EPA-EFE/MAST IRHAM
Seorang wanita berjalan melewati spanduk yang menunjukkan Presiden Indonesia Joko Widodo mengenakan masker pelindung wajah, di Jakarta, Indonesia, Senin (14/9). (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizkyan Adiyudha, Dessy Suciati Saputri, Sapto Andika Candra, Wahyu Suryana, Antara

Mayoritas masyarakat menginginkan agar pemerintah mengutamakan sisi kesehatan dibanding ekonomi pada masa pandemi Covid-19. Hal itu tercermin dari hasil riset lembaga survei Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (KedaiKOPI) yang mendapati bahwa mayoritas publik ingin pemerintah merampungkan dulu masalah utama pandemi, yaitu penularan Covid-19.

Baca Juga

"Sebesar 75,5 persen masyarakat Indonesia menyatakan kesehatan lebih penting daripada ekonomi terutama pada situasi pandemi Covid-19 ini," kata Direktur Eksekutif KedaiKOPI, Kunto Adi Wibowo, Senin (14/9).

Survei dilaksanakan secara tatap muka dengan menerapkan protokol kesehatan. Survei dilakukan dengan mewawancarai 1.200 responden yang tersebar di 34 Provinsi di Indonesia pada 18 Agustus hingga 6 September.

Kunto mengatakan, hasil survei saat ini masih sejalan dengan temuan riset sebelumnya pada Juni lalu. Dia mengungkapkan, survei pada Juni lalu mendapati bahwa 63,4 persen masyarakat juga memilih kesehatan daripada ekonomi.

"Jadi ada peningkatan persepsi terhadap pentingnya kesehatan sebanyak 11 persen dalam rentang waktu Juni hingga September ini," katanya.

Mengacu pada hasil survei, sebesar 27,2 persen responden menyatakan kalau penghasilan mereka lebih buruk dibandingkan sebelum pemberlakuan kebiasaan baru. Sementara, 47,1 persen menyatakan bahwa tidak ada yang berubah dari penghasilan mereka. Sedangkan, 25,2 persen menyatakan bahwa penghasilan mereka justru lebih baik setelah pemberlakuan kebiasaan baru.

Seperti diketahui, jumlah kasus harian Covid-19 di Indonesia tercatat mengalami peningkatan 3.141 pada Senin (14/9). Penambahan itu membuat total keseluruhan kasus infeksi Covid-19 di Nusantara mencapai 221.523 orang dari 34 provinsi.

Angka kesembuhan mengalami peningkatan 3.395 orang dengan total kasus sembuh mencapai 158.405 orang. Meski demikian, angka kematian juga bertambah 118 orang dengan total kasus berujung pada meninggal dunia sebanyak 8.841 orang.

Pada pekan lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan, bahwa fokus utama pemerintah adalah mengutamakan kesehatan dan keselamatan masyarakat. Namun, pada pekan ini, Jokowi juga mengakui, pemerintah dikejar waktu untuk membawa perekonomian nasional kembali bangkit.

"Terkait pemulihan ekonomi, kita masih punya waktu sampai akhir September dalam meningkatkan daya ungkit ekonomi kita, meningkatkan daya beli masyarakat, meningkatkan konsumsi rumah tangga di kuartal ketiga ini," ujar Presiden Jokowi dalam sambutan rapat terbatas di Kantor Presiden, Senin (14/9).

 

Jokowi menyampaikan, kunci pemulihan ekonomi nasional adalah capaian kuartal III 2020. Bila pada kuartal ini PDB berhasil tumbuh positif, maka diyakini roda ekonomi akan kembali bergulir kencang pada kuartal selanjutnya.

Demi mengejar 'ketertinggalan' ini, Presiden Jokowi memerintahkan seluruh jajarannya mempercepat pencairan insentif yang sifatnya transfer tunai. Belanja pemerintah, seperti penyaluran bantuan sosial tunai, merupakan salah satu daya ungkit pertumbuhan ekonomi nasional. Ketika faktor pendorong lain seperti konsumsi rumah tangga dan investasi anjlok, maka konsumsi pemerintah menjadi satu-satunya andalan.

"Insentif yang sifatnya cash transfer agar benar-benar diperhatikan dipercepat," ujar Jokowi.

Kuartal III 2020 memang menjadi momen penentuan, apakah Indonesia masuk dalam zona resesi ekonomi atau justru selamat. Ekonomi nasional hanya mampu tumbuh 2,97 persen pada kuartal I tahun ini, menyusul dimulainya pandemi Covid-19. Kondisinya memburuk pada kuartal II, dengan angka prediksi pertumbuhan ekonomi di level minus 4,3 persen.

Dalam hal penanganan pandemi, Jokowi meminta jajarannya berupaya keras mengendalikan penularan Covid-19 dan meningkatkan angka kesembuhan pasien. Ia menyebut, per 13 September, rata-rata kasus aktif di Indonesia pun tercatat sebanyak 25,02 persen, lebih tinggi dari rata-rata kasus aktif dunia yang sebanyak 24,78 persen.

“Kemudian juga jumlah kasus sembuh sebanyak 155.010 kasus dengan recovery rate 71 persen. Ini rata-rata kesembuhan di Indonesia 71 persen, ini juga sedikit lebih rendah dari rata-rata kesembuhan dunia. Saya kira kita terus mengejar rata-rata kesembuhan global,” ujar dia.

Selain itu, ia meminta agar pemerintah terus bekerja keras menurunkan angka kematian. Rata-rata angka kematian di Indonesia saat ini memang tercatat menurun dari 4,49 persen menjadi 3,99 persen. Kendati demikian, angka ini masih lebih tinggi daripada rata-rata angka kematian dunia yang mencapai 3,18 persen.

“Tetapi memang angka ini 3,99 persen ini mengalami penurunan dibandingkan angka kematian seminggu yang lalu berada di 4,02 persen,” tambah dia.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengaku diperintahkan Presiden Jokowi untuk fokus menangani Covid-19 di sembilan provinsi yang berkontribusi besar terhadap total kasus secara nasional. Luhut diberi target dua pekan.

"Presiden perintahkan dalam waktu dua minggu kita harus bisa mencapai tiga sasaran yaitu penurunan penambahan kasus harian, peningkatan recovery rate (tingkat kesembuhan) dan penurunan mortality rate (tingkat kematian)," kata Luhut dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (14/9).

Luhut, yang juga Wakil Ketua Komite Kebijakan Pengendalian Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, bersama Kepala Badan Nasional Pengendalian Bencana (BNPB) Doni Monardo diperintahkan bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan untuk menangani kasus Covid-19 di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Bali, Sumatera Utara, dan Papua.

Luhut menjelaskan, alasan Presiden memerintahkannya untuk berkonsentrasi lebih dahulu ke sembilan provinsi tersebut adalah karena delapan provinsi, selain Papua, di antaranya berkontribusi terhadap 75 persen dari total kasus atau 68 persen dari total kasus yang masih aktif. Ia juga menjelaskan, untuk mencapai tiga sasaran penanganan penularan Covid-19 di sembilan provinsi utama itu, pihaknya telah menyusun tiga strategi.

"Operasi yustisi untuk penegakan disiplin protokol kesehatan, peningkatan manajemen perawatan pasien Covid-19 untuk menurunkan mortality rate dan meningkatkan recovery rate serta penanganan secara spesifik klaster-klaster Covid-19 di setiap provinsi," terangnya.

Pendapat ekonom

Sebagian ekonom menilai, pemerintah harus mengatur kembali strategi menekan penularan Covid-19. Penerapan kembali Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) secara ketat di DKI Jakarta dinilai sebagai contoh tepat.

“Mindset diubah, memang kesehatan diutamakan nanti ekonomi mengikuti,” kata peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho dalam sebuah webinar di Jakarta, Kamis (10/9), pekan lalu.

“Kesehatan yang utama tapi pada akhirnya dibuat berjalan berdampingan sehingga inilah akibatnya ternyata kesehatan bukan prioritas utama sehingga akan berdampak ke ekonomi,” katanya, menambahkan.

Dalam fase PSBB yang kembali seperti awal pandemi di Jakarta, lanjut dia, diharapkan pemerintah menggenjot tracing, tracking dan testing setidaknya hingga vaksin selesai diproduksi massal. Tak hanya itu, tes usap atau swab test tidak hanya dilakukan di perkantoran, tetapi juga kawasan industri karena berpotensi besar menjadi klaster penyebaran Covid-19.

Senada dengan Andry, ekonom UGM, Rimawan Pradiptyo berpendapat, pemberlakuan PSBB kali ini tidak akan sampai menghentikan roda perekonomian di Indonesia. Serta, tidak akan memberikan dampak sebesar saat pemberlakuan PSBB pertama pada April lalu.

"Sebenarnya sudah ada adaptasi setelah PSBB pertama. Ketika kini ada PSBB kedua saya merasa lebih optimistis karena kita sudah melewati learning process," kata Rimawan melalui rilis yang diterima Republika, Senin (14/9).

Ia menjelaskan, ketika pemberlakuan PSBB pertama masih banyak masyarakat dan pelaku-pelaku usaha yang belum bisa sepenuhnya melakukan adaptasi. Termasuk, adaptasi terhadap perubahan-perubahan yang muncul akibat pandemi Covid-19.

"Yang terjadi pada Maret-Mei lalu dalam banyak hal semua masih meraba-raba, masih mencoba mana yang bisa jalan, mana yang tidak. Tapi, sekarang saya kira semua sudah mulai tahu apa yang dapat dilakukan," ujar Rimawan.

Terkait kekhawatiran terhadap nasib UMKM, ia mengatakan, justru UMKM itulah yang akan bisa bertahan pada masa krisis. Sebab, sudah terbiasa menjalankan usaha secara dinamis di tengah-tengah kondisi pasar yang tidak menentu.

Bahkan, lanjut Rimawan, banyak usaha-usaha baru yang justru muncul selama pandemi berlangsung. Layanan pembelian bahan makanan secara daring, serta jasa penyelenggara acara pernikahan secara virtual sudah menjadi contohnya.

Keberadaan UMKM yang menyumbang sekitar 60 persen perekonomian nasional justru jadi keunggulan tersendiri yang dimiliki Indonesia. Termasuk, jika dibanding negara-negara maju yang lebih banyak mengandalkan industri besar.

Untuk aktifkan perekonomian, pemerintah disarankan lebih mendorong sektor UMKM. Ia juga menilai, perlu ada perubahan dari key performance indicator yang lebih diarahkan ke pencapaian outcome, dan bukan penyerapan anggaran.

"Penyerapan anggaran dari Rp 700 triliun hanya dua puluh persen. Ini yang keliru dari cara berpikir selama ini, pemerintah memberi stimulus fiskal secara makro, padahal tingkat mikro proses bisnis sudah berubah 180 derajat," kata Rimawan.

photo
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menginjak rem darurat dengan mengetatkan kembali Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) - (republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement