Selasa 15 Sep 2020 05:55 WIB

800 Jam Menuju Eropa

Setiap tahun, Die Akademi hanya menerima 24 peserta didik baru

Rep: Reja Irfa Widodo/ Red: Agung Sasongko
Pelatih kepala Bayern Munich Hansi Flick (tengah) mengangkat trofi saat para pemainnya merayakan kemenangan final Liga Champions UEFA antara Paris Saint-Germain dan Bayern Munich di Lisbon, Portugal, 23 Agustus 2020. Bayern Munich menang 1-0.
Foto: EPA-EFE/Matt Childs
Pelatih kepala Bayern Munich Hansi Flick (tengah) mengangkat trofi saat para pemainnya merayakan kemenangan final Liga Champions UEFA antara Paris Saint-Germain dan Bayern Munich di Lisbon, Portugal, 23 Agustus 2020. Bayern Munich menang 1-0.

REPUBLIKA.CO.ID, BONN -- Untuk pertama kalinya dalam sejarah, tiga pelatih asal Jerman berada di kursi pelatih masing-masing tim di fase empat besar Liga Champions musim lalu. Hansi Flick menangani Bayern Muenchen, Thomas Tuchel membesut Paris Saint Germain (PSG), dan Julian Nagelsmann di kursi pelatih RB Leipzig. Ini tentu menjadi catatan membanggakan buat Federasi Sepak Bola Jerman (DFB).

"Kami begitu bangga, tidak hanya memiliki dua pelatih, tapi tiga pelatih sekaligus di fase paling menentukan dalam Liga Champions,'' kata salah satu direktur DFB, Olivier Bierhoff, seperti dilansir Bundesliga, beberapa waktu lalu. 

Baca Juga

Dengan torehan ini, Jerman kembali membuktikan diri sebagai negara penghasil pelatih-pelatih kelas dunia. Nama-nama pelatih tersebut melengkapi sejumlah pelatih yang telah lebih dulu menuai kesuksesan, seperti Jupp Heynckes ataupun Jurgen Klopp. Kesukesan pelatih-pelatih ini pun tidak bisa dilepaskan begitu saja dari insitusi pendidikan pelatih sepak bola di Jerman, Hennes Weisweiler Akademie, atau bisa disebut  Die Akademie.

Sekolah kepelatihan yang didirikan DFB pada 1947 ini telah melahirkan berbagai pelatih-pelatih kelas dunia, mulai dari era Franz Beckenbauer, Juup Heynckes, hingga yang paling terkini adalah era Joachim Loew dan Jurgen Klopp. Sekolah kepelatihan yang terletak di pinggiran kota Bonn ini juga telah berevolusi dan terus mengembangkan diri sesuai dengan tuntutan dan perkembangan sepak bola modern.

Para pelatih yang menempuh pendidikan kepelatihan di Die Akademi berhak menyandang gelar Fußball-Lehrer atau secara harfiah berarti Guru Sepak Bola. Gelar ini setara dengan Lisensi Pro UEFA atau lisensi tertinggi kepelatihan UEFA. Kendati begitu, ada perbedaan besar dalam masa pendidikan di Die Akademie dibanding dengan standar minimal yang ditetap UEFA.

Apabila UEFA hanya mensyaratkan semua peserta kursus bisa mendapatkan lisensi pelatih dengan hanya waktu kursus selama 240 jam, tapi di Die Akademi, semua peserta harus menghabiskan lebih dari 800 jam waktu kursus, tepatnya 815 jam. Sebagai perbandingan, seorang pelatih di Inggris sudah bisa mendapatkan lisensi kepelatihan dari Federasi Sepak Bola Inggris (FA) asalkan telah menghabiskan 256 jam waktu kursus. 

Tidak hanya soal durasi masa kursus, Die Akademi juga mememiliki pendekatan yang unik dalam mendidik para pelatih muda. Selama 11 bulan lebih, para peserta kursus mempelajari semua aspek di sepak bola modern, baik dari segi teori ataupun praktik. Tidak hanya soal taktik dan strategi, tapi juga soal statistik penampilan pemain, nutrisi pemain, kebugaran pemain, hingga psikologis pemain. 

Selain itu, para peserta kursus juga diwajibkan menjalani masa magang selama delapan bulan di sejumlah klub di dua divisi teratas Liga Jerman. Dengan begitu, para pelatih muda tersebut bisa langsung belajar dan mempraktikan semua teori-teori yang telah mereka dapatkan di situasi dan kondisi kompetisi yang sesungguhnya. Pada akhir masa program, para peserta didik juga harus membuat makalah sebanyak 15 halaman yang menjelaskan soal gaya dan filosofi sepak bola yang akan mereka usung.

Die Akademi juga menerapkan standar yang cukup tinggi saat merekrut peserta didik baru. Setiap tahun, Die Akademi hanya menerima 24 peserta didik baru, yang biasanya disaring dari 80 pemohon. Selain itu, hanya pelatih yang telah memegang lisensi A DFB dan telah setahun berlatih bersama klub anggota DFB yang berhak mengajukan permohonan untuk belajar di institusi pendidikan yang mengambil nama salah satu pelatih terbaik asal Jerman tersebut.

Semua sistem pendidikan pelatih di Jerman ini pun beriringan dengan program DFB. Berdasarkan ketentuan, pemegang lisensi pelatih DFB harus memperbarui lisensi mereka setiap tiga tahun dengan menghadiri kursus kepelatihan yang baru. Dengan cara ini, pelatih-pelatih asal Jerman diharapkan bisa mengikuti dan tidak tertinggal dengan perkembangan terbaru dari sepak bola.

Tidak hanya itu, DFB juga memberikan kesempatan pada para pelatih muda itu untuk menimba pengalaman di klub-klub Bundesliga. Hal ini tidak terlepas dari kebijakan DFB yang mewajibkan setiap tim di Bundesliga memiliki tim junior, yang berisikan pemain-pemain homegrown

Alhasil, tidak mengherankan apabila banyak pelatih asal Jerman yang pola dan jenjang karier yang sama, ditunjuk menukangi tim utama usai membesut tim junior. Hal ini seperti yang dialami Nagelsmann dan Tuchel. Sementara Tuchel dipromosikan ke pelatih tim utama usai melatih tim junior Augsburg, Nagelsmann dipromisikan menangani tim utama Hoffenheim usai membesut tim junior Hoffenheim.

Bahkan saat ditunjuk menangani tim utama Hoffenheim pada 2015, Nagelsmann baru berusia 28 tahun dan menjadikannya sebagai pelatih termuda di sejarah Bundesliga. Kini, Nagelsmann telah menorehkan rekor baru sebagai pelatih termuda yang berhasil membawa sebuah tim ke empat besar Liga Champions, tepatnya saat baru berusia 33 tahun.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement