Senin 14 Sep 2020 14:14 WIB

Prof Rokhmin Bekali Mahasiswa Pascasarjana Politeknik AUP

Ada 18 permasalahan dan tantangan untuk mengembangkan kelautan dan perikanan.

Prof Rokhmin Dahuri, koordinator Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan 2020-2024
Foto: Dok IPB
Prof Rokhmin Dahuri, koordinator Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan 2020-2024

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB, Prof Dr  Ir  Rokhmin Dahuri  MS memberikan pembekalan pada acara  Matrikulasi Mahasiswa Pascasarjana Politeknik AUP Angkatan X, Senin (14/9). Pada kesempatan tersebut ia megupas isu-isu dan tantangan bidang kelautan dan berikanan.

“Setidaknya ada 18 permasalahan dan tantangan untuk mengembangkan bidang kelautan dan perikanan,” kata Prof Rokhmin yang membawakan makalah berjudul “Issues and Challenges Developoing an Efficient, Competitive, Inclusive, and Sustainable Marine and Fisheries Sector”.

Permasalahan dan tantangan tersebut antara lain, sekitar 30 persen  nelayan dan pembudidaya masih miskin (pendapatan < US$ 300 [Rp 4,2 juta] per bulan); kontribusi sektor KP bagi PDB masih rendah (3%); nilai ekspor perikanan masih sangat kecil (4,5 miliar dolar AS); dan  sebagian besar nelayan, pembudidaya, dan pengolah hasil perikanan masih tradisional.

“Selain itiu, IUU fishing oleh nelayan asing masih marak, karena sangat sedikit Kapal Ikan Indonesia (>30GT) yang beroperasi di fishing grounds yang selama ini dijarah nelayan asing (70%), dan lemahnya law enforcement (30%),” ujar Ketua Umum Masarakat Akuakultur Indonesia (MAI) itu dalam rilis yang diterima Republika.co.id.

Faktor lainnya, kata Prof Rokhmin, mayoritas nelayan dan pembudidaya belum menerapkan Best Handling Practices, sehingga kualitas ikan rendah; sebagian besar pelabuhan perikanan belum memenuhi persyaratan higienis dan sanitasi, belum dilengkapi dengan forward - and backward – linkage industries (industri hulu dan hilir); lokasi sentra penangkapan ikan berbeda dengan lokasi pasar domestik maupun lokasi pelabuhan ekspor à Sistem Logistik Ikan Nasional belum terbangun dengan baik; dan karena musim paceklik atau cuaca buruk, pada umumnya nelayan hanya bisa melaut menangkap ikan sekitar 8 bulan dalam setahun.  Sekitar 4 bulan mereka menganggur, tidak ada kerjaan à terjebak rentenir.

“Posisi nelayan dan pembudidaya dalam Rantai Bisnis (tata niaga) sangat marginal,” kata Prof  Rokhmin yang juga menjadi ketua Dewan Pakar  Masayarakat Perikanan Nusantara (MPN).

Faktor lainnya, Rokhmin menambahkan, overfishing beberapa jenis stok ikan di beberapa fishing grounds (WPP), underfishing di beberapa fishing grounds (WPP) lainnya; ketidakpastian posisi usaha perikanan budidaya (aquaculture) dalam RTRW; pencemaran, dan kerusakan lingkungan; perubahani iklim global beserta segenap dampak negatifnya; kecelakan di laut, karena gelombang besar, badai, dan cuaca buruk; perampokan, dan kejahatan laut lainnya; dan kapasitas (knowledge and skills) dan etos kerja nelayan pada umumnya belum mumpuni.

“Selain itu, kebijakan politik-ekonomi (seperti moneter, fiskal, kredit perbankan, SDM, dan iklim investasi) belum kondusif,” papar Rokhmin.

Ia lalu menawarkan sejumlah jalan keluar. Antara lain, bergantung pada karakteristik dan dinamika stok ikan, kondisi oseanografis dan klimatologi unit pengelolaan wilayah perairan, nelayan, dan aspek sosekbud  à Gunakan satu atau lebih Fisheries Management Measures dan Model Pengelolaan Perikanan (Command and Control, CBM, atau Co-Management). Kemudian, modernisasi dan peningkatan kapasitas nelayan tradisional dengan penggunaan fishing technology yang lebih produktif, efisien, dan ramah lingkungan, sehingga pendapatan nelayan minimal US$ 300 /nelayan/bulan.

“Nelayan harus menerapkan Best Handling Practices, dan Cold Chain System, terutama untuk jenis-jenis ikan mahal,” ujarnya.

Selain itu, revitalisasi dan pembangunan baru PPN (Pelabuhan Perikanan Nusantara) dan PPS (Pelabuhan Perikanan Samudera)  sebagai kawasan industri perikanan terpadu berkelas dunia di wilayah-wilayah terdepan NKRI.  “Juga, revitalisasi dan pembangunan baru PPP dan TPI yang berkualitas tinggi, sesuai kebutuhan, sebagai pelabuhan perikanan pengumpan bagi PPN dan PPS,” paparnya.

Hal lain yang juga penting adalah kapasitas kawasan industri pengolahan perikanan terpadu berkelas dunia di setiap propinsi (minimal satu unit) harus mempertimbangkan pasokan raw materials dari perikanan tangkap maupun perikanan budidaya; dan evaluasi dan penetapan sistem bagi hasil antara pemilik kapal ikan dengan ABK yang lebih berkeadilan dan berkelanjutan.

“Pemerintah melalui Koperasi, BUMN, atau Swasta harus menjamin ketersediaan sarana produksi bagi nelayan di seluruh wilayah NMRI, dengan harga relatif murah. Pemerintah juga harus menjamin pasar ikan hasil tangkapan nelayan dengan harga yang menguntungkan nelayan, dan juga terjangkau oleh konsumen dalam negeri. Pemerintah harus menyediakan kredit kepada nelayan di seluruh wilayah NKRI dengan bunga relatif murah dan persyaratan pinjam relatif lunak,” ujar Prof Rokhmin Dahuri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement