Senin 14 Sep 2020 10:01 WIB

Khawatir Happy Hypoxia, Perlukah Punya Pulse Oximeter?

Pulse oximetrer bantu pantau saturasi oksigen pasien Covid-19 yang isolasi mandiri.

Rep: Adysha Citra Ramadani/ Red: Reiny Dwinanda
Dokter menggunakan pulse oximeter untuk memeriksa saturasi oksigen pasien Covid-19  di Wuhan, Provinsi Hubei, China, 13 Februari 2020. Pulse oxymeter boleh saja dimiliki andaikan ada anggota keluarga yang bergejala Covid-19 ringan dan melakukan isolasi mandiri.
Foto: EPA
Dokter menggunakan pulse oximeter untuk memeriksa saturasi oksigen pasien Covid-19 di Wuhan, Provinsi Hubei, China, 13 Februari 2020. Pulse oxymeter boleh saja dimiliki andaikan ada anggota keluarga yang bergejala Covid-19 ringan dan melakukan isolasi mandiri.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebagian orang yang terkena Covid-19 mengalami hipoksia tanpa sadar alias happy hypoxia. Kondisi hipoksia ini bisa diketahui dengan bantuan alat pulse oximeter.

Seperti dilansir WebMD, hipoksia merupakan kondisi di mana jaringan tubuh tidak mendapatkan cukup oksigen. Kondisi ini dapat terjadi karena darah tidak membawa cukup oksigen untuk memenuhi kebutuhan jaringan tersebut.

Baca Juga

Hipoksia merupakan kondisi yang berbahaya karena organ-organ penting bisa mengalami kerusakan tanpa pasokan oksigen yang cukup. Kerusakan ini bisa terjadi hanya dalam waktu satu menit setelah gejala hipoksia muncul. Salah satu gejala hipoksia adalah sesak napas.

Akan tetapi, sebagian pasien Covid-19 bisa tidak menunjukkan gejala sesak napas ketika mengalami hipoksia. Fenomena inilah yang dikenal sebagai happy hypoxia atau silent hypoxia. Melalui News Medical Life Science, Chief Medical Officer American Lung Associaton Dr Albert Rizzo mengungkapkan salah satu pemeriksaan yang dilakukan untuk mendeteksi happy hypoxia adalah pemeriksaan dengan alat monitor oksigen, yaitu pulse oximeter.

 

Oximeter dapat memberi informasi mengenai saturasi oksigen seseorang. Saturasi oksigen yang normal berkisar di angka 95 hingga 100 persen. Sedangkan penafsiran saturasi oksigen di kisaran 90 hingga 95 persen akan sangat bergantung pada kondisi tiap individu.

"(Sebagai contoh) orang yang perokok mengalami penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) mungkin 92 hingga 93 sudah di 'tempatnya' dia," ujar Prof Dr dr Ari Fahrial Syam SpPD-KGEH MMB FINASIM FACP FACG saat dihubungi Republika.co.id.

Akan tetapi, saturasi oksigen di bawah 95 persen pada orang normal sudah dapat menunjukkan adanya masalah. Sedangkan saturasi oksigen di bawah 90 persen menunjukkan adanya masalah, terlepas dari kondisi pasien seorang perokok atau bukan perokok.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengungkapkan bahwa pulse oximeter, baik yang digunakan di jari maupun telinga, memiliki dioda pemancar cahaya atau LED yang memancarkan dua tipe cahaya merah ke jaringan tubuh. Oximeter memiliki bentuk seperti penjepit di mana satu sisi dilengkapi LED dan di sisi lainnya memiliki detektor cahaya. Detektor cahaya ini akan bekerja menangkap cahaya dari LED yang menembus jaringan tubuh ketika digunakan.

"Oximeter dapat menentukan haemoglobin mana yang ada di darah arteri dan kemudian dapat menentukan SpO2 (saturasi oksigen) pada darah arteri di peredaran darah perifer," jelas WHO, seperti dilansir dari laman resmi WHO.

Sebagian orang mungkin berpikir untuk memiliki alat oximeter sendiri di rumah untuk berjaga-jaga. Akan tetapi, Prof Ari mengatakan, kepemilikan alat oximeter di rumah sebaiknya dilakukan sesuai kebutuhan.

Sebagai contoh, menurut Prof Ari, alat oximeter mungkin perlu dimiliki bila di rumah ada pasien Covid-19 dengan gejala ringan yang melakukan isolasi mandiri. Akan tetapi, oximeter mungkin tidak perlu dimiliki di rumah bila semua orang di rumah normal dan sehat.

"Kalau memang ada yang isolasi mandiri, apalagi dengan gejala, saya sarankan punya alat itu. Tapi akalu semuanya normal-normal saja, ya tidak perlu. Buat apa?" jawab Prof Ari.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement