Senin 14 Sep 2020 05:20 WIB

Lawan Covid-19, Peneliti Kembangkan Masker Graphene

Peneliti akan tingkatkan efikasi antivirus pada masker untuk menangkal virus corona.

Rep: Adysha Citra Ramadani/ Red: Reiny Dwinanda
Covid-19 (ilustrasi). Penggunaan masker merupakan salah satu upaya penting untuk mencegah penularan Covid-19.
Foto: www.freepik.com
Covid-19 (ilustrasi). Penggunaan masker merupakan salah satu upaya penting untuk mencegah penularan Covid-19.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim peneliti dari City University of Hong Kong berhasil mengembangkan masker graphene dengan efikasi antibakteri yang baik. Langkah selanjutnya, tim peneliti akan meningkatkan efikasi antivirus pada masker untuk menangkal virus corona.

Ide membuat masker graphene terlintas dibenak ketua tim peneliti Dr Ye Ruquan sebelum pandemi Covid-19 terjadi pada September lalu. Graphene merupakan material yang dikenal dengan sifat antibakterinya.

Baca Juga

Ide ini dinilai sesuai dengan kondisi saat ini di mana penggunaan masker merupakan salah satu upaya penting untuk mencegah penularan Covid-19. Terlebih, masker bedah yang umum digunakan saat ini tidak memiliki sifat antibakteri. Risiko transmisi sekunder bisa muncul ketika seseorang menyentuh permukaan masker bedah yang sudah digunakan atau masker bedah yang dibuang tidak sesuai prosedur.

"Masker graphene mudah diproduksi dengan biaya rendah dan dapat membantu mengatasi masalah pasokan bahan baku dan pembuangan masker non-biodegradable," jelas tim peneliti dari City University of Hong Kong, seperti dilansir Times Now News.

Studi dalam jurnal ACS Nano mengungkapkan bahwa masker graphene yang dikembangkan oleh tim peneliti tersebut memiliki efikasi antibakteri sebesar 82 persen. Efikasi ini bisa ditingkatkan hingga hampir 100 persen dengan penambahan paparan sinar matahari sekitar 10 menit.

Dalam studi ini, tim peneliti menggunakan E.coli untuk mengukur efikasi sifat antibakteri pada beberapa material. Sebagai perbandingan, efikasi antibakteri pada graphene mencapai 82 persen, sedangkan efikasi antibakteri pada serat karbon dan kain melt-blown hanya berkisar 2 persen dan 9 persen.

Deposit E.Coli pada permukaan material serat karbon dan kain melt-blown juga tampak masih hidup setelah delapan jam. Akan tetapi, sebagian besar E.Coli pada permukaan graphene mati setelah delapan jam. Tak hanya itu, graphene induksi laser juga terlihat memiliki kapasitas antibakteri yang kuat untuk bakteri yang teraerosolisasi.

Studi lebih lanjut dibutuhkan untuk mengetahui mekanisme sifat antibakteri graphene yang pasti. Akan tetapi, Dr Ruquan menilai, ujung graphene/ yang tajam menyebabkan kerusakan pada sel membran bakteri atau bakteri terbunuh karena dehidrasi akibat sifat hidrofobik yang dimiliki graphene.

Studi terdahulu mengungkapkan bahwa Covid-19 kehilangan infeksitasnya pada suhu tinggi. Oleh karena itu, tim peneliti juga melakukan percobaan untuk mengetes apakah efek fotothermal pada graphene dapat meningkatkan sifat antibakterinya. Efek fotothermal adalah kemampuan memproduksi panas setelah menyerap cahaya.

Hasilnya, efikasi sifat antibakteri material graphene dapat meningkat hingga 99,998 persen bila mendapatkan paparan sinar matahari selama 10 menit. Sedangkan efikasi sifat antibakteri pada serat karbon dan kain melt-blown/ meningkat sebanyak 67 persen dan 85 persen dengan paparan sinar matahari yang sama.

Saat ini, tim peneliti sedang bekerja dengan laboratorium di Cina untuk mengetes material graphene dengan dua spesies virus corona manusia. Langkah selanjutnya yang akan dilakukan tim peneliti adalah meningkatkan efikasi antivirus pada masker yang mereka kembangkan dan mengembangkan strategi reusable untuk masker tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement